Pelan-pelan aku mendekat menghampirinya dengan canggung. “Sore Pak Teguh, tumben di akhir pekan kesini?” Melihatku bertanya beliau justru terkekeh. Katanya beliau sering kesini ketika senggang walau di akhir pekan. Astaga, aku baru tahu soal itu.
“Kulihat sepertinya ada yang menggangu pikiranmu.” Bingo, Pak Teguh langsung bisa menebaknya dengan tepat. Aku curiga bisa jadi Pak Teguh diam-diam bisa meramal. Ah, bodohnya mana mungkin ada hal seperti itu Tama, pekikku dalam hati.
“Ah, Bapak benar, begini Pak akhir-akhir ini seperti yang Bapak tahu performa saya turun. Saya terjebak dalam keraguan. Walaupun mencoba bangkit tapi saya justru terjatuh lagi dan lagi, sekarang saya mempertanyakan sebenarnya apakah pilihan saya ini sudah benar atau malah sebaliknya.” Pak Teguh mendengarkan dengan takzim lalu menatap langit.
“Lihatlah langit diatas sana Tama. Kadang ia terlihat biru, jingga, merah, kelabu atau hitam dan gemerlap. Sekarang langit berwarna jingga entah setelah ini akan berwarna apa. Kamu mungkin bisa mencintai langit biru tapi langit senantiasa berubah. Jangan khawatir langit juga menyayangi kita semua, itu sebabnya kapan pun warna birunya akan kembali. Sama seperti hidup yang telah Tuhan kehendaki. Apa yang menjadi milikmu akan kembali padamu jika kau mau berusaha, dan kamu tahu itu apa Tama? Yaitu tekad.”