Tekad Dalam Jiwa

Zsa Zsa Eki Liztyasari
Chapter #11

Aku Dan Bima

Kali ini tentu saja agar tidak lagi di tegur soal nilaiku yang terjun bebas, aku mulai menyisihkan waktu lebih untuk belajar. Aku meminta bantuan pada beberapa teman untuk membantuku di mata pelajaran yang sulit. Biasanya ketika otakku mampet aku akan menabrak Bima. Tapi sekarang Bima sudah di Pelatnas tak apa itu bukan lagi masalah besar.

Usahaku membuahkan hasil, nilaiku perlahan meningkat. Naiknya nilai sekolah berhasil menghindarkanku dari teguran guru tapi bukan berarti aku aman dari ancaman Pak Rahmat untuk mengeluarkanku. Itu sebabnya demi membuktikan bahwa aku pantas berada disini adalah dengan merenggut medali dari kompetisi tingkat nasional. Maklum, sainganku bukan sekedar teman satu sekolah tapi setiap anak yang ingin menjadi atlet senatero negeri. Itu sebabnya sekolah ini menggunakan sistem diskualifikasi, kalau tidak ada perkembangan kalian harus siap-siap angkat kaki dari sekolah ini. Aku susah payah untuk bisa masuk kesini maka tak akan kubiarkan satupun merebut singgasanaku.

                                                            ***

Ketika aku mengatakan niatku pada Pak Teguh beliau tertawa lepas sembari mengacak rambutku.

“Nah, yang namanya anak muda memang seharusnya begitu. Ah, jadi teringat masa lalu. Tidak ada waktu bersantai-santai cepat latihan atau kau kugantikan dengan anak lainnya mengerti!” mendengar ucapan Pak Teguh, aku segera lari terbirit-birit macam babi ngepet dikejar warga.

Sebenarnya ada satu hal yang ingin kupastikan. Dengan latihan ala Spartan dari Pak Teguh ditambah latihan sendiri serta mental yang terus ditempa hingga menjadi setajam katana. Aku akan menemuinya, rivalku, Bima.

Kami sepakat untuk bertemu di lintasan sekolah di hari minggu. Banyak murid yang sedang keluar sekedar jalan-jalan untuk mengganti suasana. Maka disinilah kami berdua saling berhadapan setelah berbulan-bulan tak bersua. Tatapan Bima terlihat serius, tapi aku tak gentar. Mataku membalasnya dengan tajam, telunjukku mengacung padanya tanpa ragu.

“Bima, kamu adalah rivalku dan seperti yang aku katakan saat pertama kali kita bertemu bahwa akulah yang akan menang dan maju di kejuaraan internasional!” tantangku dengan lantang pada Bima.

“Saya terima tantangan kamu, Tama.”

Lintasan sekolah inilah yang akan jadi tempat pertandinganku dengan Bima. Kami akan melakukan tanding lari 100m, 200m dan 400m. Setiap pertandingan akan mendapat satu poin dan siapa yang mendapat poin lebih banyak maka ialah pemenangnya. Untuk wasit aku menggaet Asep yang kebetulan sedang berada di asrama. Awalnya ia menolak, enggan karena ia sudah lengket menempel di kasur kesayangannya. Lalu kukatakan lawan tandingku adalah Bima ia langsung bangkit penuh tenaga melupakan ritual tidur siangnya yang sakral itu.

Sama halnya dengan Danu, aku membutuhkannya untuk menentukan siapa yang lebih dahulu tiba di garis finish. Awalnya ia jugalah enggan, tapi cukup mendengar nama Bima kuping tebalnya yang seperti gajah terangkat lalu beringsut ke lintasan macam rakyat jelata takut ketinggalan pembagian zakat. Rasanya gemas melihat tingkah laku dua makhluk hidup ini rasanya ingin aku menjitak mereka nanti.

Aku dan Bima mulai dalam posisi bersiap. Kulirik Bima terlihat serius, bagus inilah yang kuinginkan. Tak ada rasa takut secuil pun kurasakan justru sedari tadi kakiku sudah gatal ingin berlari. Asep yang merasakan atmosfer kami juga terlihat serius. Di ujung sana Danu memegang stopwatch sangat fokus. Setelah semuanya siap Asep mulai memekik.

“BERSEDIA, SIAP, YA!” aku dan Bima melesat. Kami berdua sama-sama berhasil mengambil tempo dari hentakan pertama. Garis finish semakin dekat. Danu berteriak, Bima berhasil memenangkan pertandingan pertama. Lanjut pertandingan kedua lari 200m. Aku memejamkan mata sebentar merapalkan mantraku.

Lintasan adalah jiwaku

Kecepatan adalah sahabatku

Kemenangan adalah permata

Lihat selengkapnya