Kukira aku hanya akan merasa senang sendiri ketika menerima kabar itu tapi nyatanya kabar baik itu juga disambut gegap gempita oleh Asep, Danu dan Pak Teguh. Mereka sosok yang menemaniku dikala aku terperangkap dalam keraguan. Sekarang aku bisa berdiri tegak dengan berani bahkan mampu melangkah lebih jauh.
Ibu juga sangat bahagia mendengar putra satu-satunya kini diakui sebagai atlet nasional. Ibu sempat menangis haru tapi kuberitahu padanya bahwa terlalu dini untuk menangis haru karena targetku selanjutnya lebih gila yaitu meraih medali emas dalam ajang kelas internasional.
Aku perpamitan pada Asep, Danu dan Pak Teguh, mereka ikut mengantarku hingga depan gerbang. Aku mencium tangan Pak Teguh takzim, lantas beliau menepuk bahuku seraya tersenyum hangat, beda cerita dengan Asep dan Danu yang terlihat murung.
Rasanya sedih juga meninggalkan mereka berdua, tapi aku ingatkan mereka bahwa aku hanya melangkah maju untuk menjemput mimpiku bukan memutus tali pertemanan dengan mereka. Angkot akan segera berangkat, aku bergegas naik. Angkot mulai melaju, aku menoleh ke belakang melambai sambil mengucapkan terima kasih. Mereka juga melambaikan tangan, dari kejauhan Asep dan Danu terlihat seumpama induk burung yang terenyuh melihat anaknya berhasil mengepakkan sayap meninggalkan sarang. Hingga tak kulihat lagi bayangan mereka setelah belokan.
Sesampainya di PB PASI aku disambut oleh Bima. Mataku tak henti menyapu setiap inci tempat ini. Bima segera mengantarku untuk melihat lintasan. Disini aku dibuat begitu berdebar karena semua atlet terbaik seantero negeri bersemayam disini dan kebanyakan dari mereka adalah atlet senior. Kulihat mereka sedang sibuk latihan bersama dengan pelatihnya.