Tahun kemarin aku berhasil terpilih menjadi salah satu kandidat untuk bertanding di Asian Athletic Championship. Ini ajang tingkat Asia dan aku di pukul keras. Aku hanya mampu meraih medali perunggu. Indonesia masih kalah jauh dibanding sang juara yaitu China yang telah menjadi juara bertahan selama bertahun-tahun.
Hal yang sama juga terjadi pada Bima. Bima juga dipukul habis-habisan di Sidney 2000. Dalam setiap kejuaraan Bima selalu berhasil meraih medali tapi kali ini ia harus berpulang tanpa membawa medali apapun.
Sekarang tidak ada waktu untuk bermuram durja. Masih kuingat jelas perasaanku sewaktu kalah sama persis saat aku tertantang oleh kehadiran Bima. Aku memang kalah tapi bukan berarti aku menyerah, dengan adanya kompetitor seperti mereka justru menjadi dorongan yang besar untukku. Aku tidak takut, tidak pula gentar. Aku ingin melahap habis mereka di kejuaraan selanjutnya.
Di tahun ini aku dan Bima tidak diturunkan untuk kejuaraan internasional melainkan diturunkan di Kejurnas. Aku bisa menerimanya dan tetap latihan seperti biasanya berbeda dengan Bima, ini menjadi hantaman keras baginya. Pulang dengan tangan kosong setelah Sidney 2000, sekarang tidak dipilih untuk maju di kejuaraan internasional lainnya, membuatnya mulai terlihat gelisah, ia sampai ditegur pelatih agar tetap menjaga fokusnya. Melihatnya, aku jadi teringat diriku yang dulu. Aku menghampiri Bima ingin bicara dengannya tapi langkahku terhenti karena aku mendengar suara yang kukenal dari kejauhan.
“Amboi, apa tak ada sambutan yang baik untuk abang dan sahabat kalian ini hah? Aduh sedihlah hatiku ini.”
Suara ini, logat melayu dan kata-kata narsisnya, itu pasti dia. Aku segera menoleh membelalakkan mata lantas berteriak. Iya, ia adalah Ujang.