Hari yang kupersiapkan dengan Ujang telah tiba. Ajakan kami diterima dengan baik oleh Bima. Awalnya kami berencana mengajak Bima ke tempat pilihan kami, tetapi Bima meminta untuk memilih sendiri tempatnya. Kami terkejut karena setahu kami Bima tidak pernah berpergian kemana pun selama ini. Hidupnya telah ia curahkan untuk sekolah dan lari, tipikal manusia yang hidupnya tegak lurus seperti tiang bendera.
Yah, bukan masalah selama itu bisa membuatnya senang. Hari ini Bima mengajak kami ke rumah makan masakan cina. Aku yakin dia pasti sedang rindu dengan rumah. Di kepalaku sudah sibuk membayangkan akan makan apa nanti, mungkin capcai, fu yung hai bisa jadi bakpao. Ah, apapun itu aku sudah tak sabar.
Ternyata tempat makan yang dimaksud Bima cukup jauh sampai ia beberapa kali harus bertanya pada orang sekitar apakah jalannya sudah benar, disini aku mulai cemas jangan-jangan tempat makan itu sudah tutup atau bisa jadi makanannya tak enak jadi banyak orang tidak tahu. Kami menghabiskan waktu satu jam untuk tiba di lokasi.
Di depan rumah makan di tulis no pork no lard dengan warna merah mencolok. Ah, aku mengerti jadi Bima berusaha mencarikan rumah makan yang halal untukku dan Ujang, aku terharu. Tapi Ujang dengan ketololannya merusak suasana. Ia mendekat padaku seraya berbisik. “Hei boi, no pork no lard apa itu sejenis bakpao?” Aku langsung beringsut masuk mengikuti Bima, Ujang mengekor masuk sambil mengomel.
Sebenarnya rumah makan ini terlihat biasa saja tidak terlalu ramai. Melihat menunya membuatku memicingkan mata, banyak nama makanan yang asing. Jangankan membayangkan makanannya untuk mengejanya saja aku seperti anak SD yang tertatih-tatih. Daripada salah memilih aku berakhir memesan nasi goreng, Ujang juga begitu. Bima yang melihat pesanan kami bersungut-sungut, lantas ia mulai memesan. Bima dengan cepat menyebut nama-nama makanan yang membuatku pusing ketika mendengarnya. Setelah menunggu sekitar 30 menit makanan kami tiba.
Aku dan Ujang tertegun melihat hamparan makanan yang tersaji di meja kami. Hingga ada satu makanan aneh yang mencuri perhatianku dan Ujang. Ada mie kering seperti belum diolah dilumuri oleh kuah capcai. Bayangkan itu bisa-bisanya menyajikan mie yang belum diolah seperti ini pikirku.
Sekarang aku yang mengomel hendak meminta ganti makanan tapi tanganku justru ditahan Bima. Bima meringis, ia berkata makanan itu disebut tamie capcai, memang seperti itu bentuknya, mie yang digoreng kering lantas di siram kuah capcai. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, sedikit kikuk lalu kembali duduk menyantap makananku. Ujang tertawa terpingkal-pingkal melihat wajahku yang merah padam. Padahal aku yakin dia sendiri juga tidak tahu makanan apa itu.
Bima dengan senang hati menjelaskan semua makanan yang dia pesan. Ada bebek peking, tamie capcai, dimsum, sapo tahu dan spring roll. Aku dan Ujang mencicipi satu per satu hidangan yang tersaji di depan kami, indera pengecapku langsung berterima kasih pada Bima karena akhirnya bisa mencicipi masakan selezat ini. Ujang juga begitu, dengan tubuhnya yang besar mudah saja baginya melahap semua hidangan di meja.
Memakan segala macam hidangan lezat kemudian ditutup dengan es teh manis di tengah serbuan hawa panas Kota Jakarta memang yang terbaik. Sungguh ajaib semua makanan yang tadinya tersaji di meja kini sudah berakhir di perut kami.
“Wah Bima terima kasih, tadi itu makanan yang luar biasa apalagi bebek gorengnya, tak pernah aku memakan bebek goreng seenak itu.” Sahut Ujang sambil mengelus perut buncitnya seperti ibu hamil. Aku yakin apa yang ia maksud bebek goreng adalah bebek peking kawan.
“Bukan apa-apa, saya justru senang kalian bisa menikmatinya. Dulu ketika saya mau masuk SKO, supir saya yang merekomendasikan tempat ini karena dia memang orang sini.” Aku dan Ujang mangut-mangut, berterima kasih pada Pak Supir yang sudah merekomendasikan tempat ini dalam hati.
“Oh iya, bagaimana kabar kalian berdua selama tidak ada aku, aku senang melihat kalian terus bersama bahkan sampai di Pelatnas.”
“Hei Jang, terus bersama darimana? Bima memarahiku lalu meninggalkanku begitu saja.” Sanggahku dengan wajah memelas untuk mengerjai Bima.
“Bima, anak nakal kau tak boleh begitu pada temanmu.”
“Anak nakal apa maksud kamu Ujang? Tama membuat saya marah karena ia ingin menyerah. Ia tergesa-gesa lantas berpikir pendek. Kamu dulu juga begitu Jang, harusnya ketika ada masalah dibicarakan terlebih dahulu jangan bertindak gegabah apalagi bila masalah itu sangat berat untuk kalian. Aku minta maaf karena aku tidak merasakan apa yang kalian rasakan dulu ketika dilanda masalah, tapi satu hal yang harus kalian ketahui jika semua orang memiliki masalahnya masing-masing baik itu besar maupun kecil. Tidak ada manusia yang menghabiskan bertahun-tahun hanya dengan masalah kecil atau bahkan tanpa masalah. Masalah itu bisa berupa peringatan atau cara Tuhan mengajari kita. Apalagi kalian adalah orang-orang yang memiliki tekad jadi apapun yang terjadi aku yakin kalian akan menemukan jalan keluarnya, meski sulit ingatlah tidak ada manusia yang hidup sendiri, pasti mereka memiliki sesorang yang peduli dan mengkhawatirkannya, saya yakin itu.”