Teknologi Kenangan

Ken Hanggara
Chapter #1

1 - Manusia Tercipta dari Apa Saja

Ada api di kepalaku, berkobar-kobar dan panas. Akan tetapi, keadaan di depan mata gelap gulita. Mataku bekerja sebagaimana mestinya mata diciptakan. Objek-objek tertangkap olehnya, tapi semua terasa gelap saja. Seperti sesuatu yang hitam pekat melingkupi permukaan mataku.

Tak mungkin kukeluarkan api di kepalaku untuk membakar segalanya meski aku ingin dan mampu.

Maka, panas ini adalah panasku. Panas ini hanya untukku. Dan, aku membiarkannya berkembang di dalam kepalaku tanpa ada yang bisa kuperbuat untuk memadamkannya.

Dengan apiku, sungguh aku ingin membakar segala yang tersaji di depan mata, mengubah semua di sekeliling menjadi abu; biar kegelapan itu binasa sekalian, lalu boleh jadi setelah itu segalanya akan dilahirkan lagi seperti phoenix.

Ya, phoenix. Burung dalam kisah-kisah legenda yang memiliki masa hidup panjang, lalu mati menjadi abu usai membakar diri, sebelum akhirnya lahir kembali dari tumpukan abunya sendiri. Hanya saja, apa itu akan menjamin keadaan bakal berbeda?

Kelahiran yang terulang, lagi dan lagi, apa akan dihadapkan pada cerita baru--mengingat kita manusia tak memiliki kuasa apa-apa selayaknya Tuhan? Hanya Ia yang punya kuasa menentukan akhir, bukan?

Aku bukan manusia yang terbuat dari api, meski akhirnya kepalaku memiliki api di dalamnya. Aku dilahirkan dari tanah dan kelak akan kembali ke tanah jika aku mati.

Aku terbuat dari tanah. Orang-orang di atas bumi, semuanya, terbuat dari tanah. Itu kata seorang guru agama. 

Menurutku, manusia tak melulu diciptakan dari tanah; sebagian dari mereka terlahir dari bebatuan, sebagian lagi dari daun-daun kering yang berjatuhan dari pohon lalu mati, dan barangkali ada pula manusia yang diciptakan dari genangan minyak tanah, gumpalan karet gosong, besi-besi tua, ranting, kantung plastik, dan mungkin, mohon maaf, kotoran binatang?

"Kau bisa saja terlahir dari sesuatu yang tak biasa dan bahkan dianggap hina oleh dunia, tapi pada akhirnya kau akan menjadi sesosok manusia karena dirimu adalah manusia; kau lahir dari rahim makhluk yang memiliki ciri-ciri dan sifat manusia. Kau tidak lahir dengan tanduk di kepalamu atau ekor di tubuhmu atau sayap di pundakmu. Jika saja kau diciptakan dari batu, lalu kau memiliki sayap, kau bahkan harus menentukan dulu apakah kau seekor burung merpati atau elang atau bahkan seekor ayam?"

Itu yang pernah kusampaikan pada Lily, seorang adik dari temanku yang begitu menggemari buku-buku sastra.

Lily tertawa terpingkal-pingkal mendengar kalimatku ketika kami bicara tentang manusia sebagai satu dari sekian banyak pengisi semesta. Bahwa manusia tak selalu sama meski itu disebut manusia.

"Bahkan jika kau berak dengan hasil yang sama?" tanya gadis itu suatu ketika dengan pundak kecilnya yang sedikit berguncang karena menahan tawa.

Lihat selengkapnya