Lily terlambat pulang malam itu. Degup jantung orang-orang serumah hampir seperti menyambut kiamat yang telah datang. Api menyala di mana-mana, di sepanjang jalan dekat rumah. Seruan kebencian dan amarah melayang di udara kota. Bunyi benda-benda dibanting, dipecah, dihantam, ditendang, dan dibakar, beserta aroma hangus asap yang menyebar menjadi mimpi buruk yang disulap nyata. Situasi saat itu seperti di medan perang yang mana kau tak diperkenankan membawa senjatamu sendiri demi melindungi keluargamu.
"Kenapa harus kita?"
Sam tak bisa menemukan di mana sang adik, Lily, saat itu berada. Sam sendiri bahkan harus terus-menerus menengok ke belakang pundaknya sendiri, sekadar memastikan tak ada yang mengintainya dari belakang dengan nafsu menghabisi. Ia tahu Lily jauh lebih rapuh, tapi apalah daya? Lily belum juga pulang.
"Kenapa harus kita?"
Begitu sulit membayangkan orang-orang melampiaskan amarah dengan cara seburuk itu. Tuhan tidak mengajarkan kamu harus berbuat kekerasan. Semesta merestui kedamaian dan keharmonisan. Tapi, bagaimana mungkin orang-orang bisa menjadi seberingas itu?
Bagaimana mungkin orang-orang yang dulunya hidup normal dalam keseharian, di hari kekacauan berlangsung, menjadi sekumpulan manusia keji yang tak ragu dan tak segan menguras darah dari tubuh orang-orang lain?
Aku melihat di hari yang sama dengan hari hilangnya Lily; barisan penduduk gang sempit--yang di hari normal tak lebih dari manusia-manusia ramah dan bersahaja--berduyun-duyun memasuki pusat perbelanjaan, menjarah habis barang-barang di etalase dan rak-rak pajang, menggotong pulang segala apa yang mampu dibawa pulang meski itu bukanlah hak mereka, dengan kaos dan daster dan sandal jepit yang melekat di diri, bahkan sampai mereka terluka oleh ketergesaan pun, semua itu sudah tak penting lagi.
Bagaimana mungkin manusia bisa berubah sebegitu drastis?
Aku pikir ada jenis-jenis manusia yang dulu, di masa penciptaan, adalah sebuah produk salah cetak. Seharusnya jiwanya diletakkan di wadah-wadah lain--tubuh-tubuh lain, tapi malah dimasukkan ke wadah yang disebut tubuh manusia dengan segala kesempurnaannya.
Aku marah, jadi aku berpikir demikian. Mereka pastilah bukan manusia. Merebut apa yang bukan hak sendiri, menyakiti yang tak seharusnya disakiti. Aku marah. Saat itu api di kepalaku menyala untuk kali pertama. Percik api yang menyesakkan dada terlebih saat mendengar tubuh-tubuh tak berdaya seperti Lily dipaksa untuk tak lagi berpakaian, berlumuran darah, tidak jelas nasibnya antara mati dan tidak mati, terluka di bagian tertentu di tubuh akibat gunting atau pisau atau apa pun yang bisa terbayangkan!
"Maaf aku tak bisa melihat semuanya, tapi sialnya aku melihat bagian-bagian terburuk dari adegan keji itu dan aku marah. Seluruh kejadian itu lekat di otakku dan aku pernah berharap segera mati atau kepalaku terbentur sesuatu hingga lupa akan segala-galanya. Tapi, aku tetap sama. Aku tak pernah lupa--tak mungkin lupa. Aku ingin membalas seseorang yang entah bagaimana membuat peristiwa kerusuhan terjadi, tapi siapa yang harus disalahkan?! Siapa yang menghancurkan Lily-ku dengan cara sekejam itu?!"