Teknologi Kenangan

Ken Hanggara
Chapter #4

4 - Setan-Setan Penunggang

Kami berjalan dengan perasaan tak menentu saat menembus gumpalan asap putih pekat itu. Kami menemukan tangan menyeruak keluar dari dalamnya. Tak ada suara dari si pemilik tangan yang tertampung di lubang telinga kami. Yang kami temukan hanya sebuah tangan yang menggapai-gapai. Kami sendiri juga tak bersuara.

Tak ada mulut yang bersuara, bukan?

Ingatlah bahwa ini masa ketika setiap orang menjahit bibir mereka masing-masing, dan jika pun kau tidak melakukannya sendiri, suatu hari nanti seseorang dengan rambut yang tercipta dari duri dan hati yang diramu dari racun paling mematikan akan datang padamu dengan wajah bengis untuk menjahit bibirmu.

Segera setelah tangan yang menggapai-gapai tadi kami raih dan kami angkat, sebuah wajah yang bulat dan pucat turut menyeruak membelah kepulan asap tebal putih; sebuah wajah yang seakan-akan tak punya nyawa. Seakan-akan mati, tapi kami tahu dia hidup. Kami tahu wajah itu masih memiliki nyawa jauh di dalam sana, lantaran dua lubang hidungnya tampak kembang-kempis. Udara mengalir masuk dan keluar. Kehidupan masih bersemayam di dalam sana.

Wajah itu tak kami kenal, namun ia perempuan. Wajah itu tidak memiliki ikatan keluarga macam apa pun dengan kelompok kami, tapi rasanya seseorang menusuk-nusukkan belati tajam nan panas ke hati kami seiring dengan berjatuhannya tetes air mata dari si wajah itu. Kami ikut sakit meski bukan kami yang menggapai-gapai dengan luka menganga. Kami ikut sakit usai melihat tubuh si wajah yang terluka parah.

Tanpa kata-kata, tanpa ucapan, wajah itu seolah-olah berbicara kepada kami, "Bahwa di dalam sini segala-galanya adalah neraka. Dan, hanya kami yang mendapat penghakiman atas dosa-dosa yang tak kami mengerti!"

Aku tahu mungkin ini terdengar klise, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, lagi. Tak bisa juga menjadi berdaya karena orang-orang berkuasa yang memiliki kepentingan menutup mata serempak dan menganggap kejadian pilu yang menimpa si perempuan yang kami tolong ini, juga para perempuan lainnya yang bernasib serupa, adalah omong kosong belaka.

Kalau saja mereka adalah Sam, mereka pasti tahu itu bukan bualan.

Tapi, mereka bukan Sam.

Lihat selengkapnya