Teknologi Kenangan

Ken Hanggara
Chapter #5

5 - Gadis yang Akan Bersaksi di Depan Seisi Dunia

Dari kerusuhan yang terjadi di kota selama beberapa hari itu, kami temukan wanita-wanita yang hancur. Wanita-wanita itu tak ubahnya patung es yang dihantam sekuat mungkin hingga hancur dan menjadi keping-keping es. Di akhir hari semua kepingan es meleleh, lalu lenyap begitu saja; mengalir ke tepi-tepi jalan, ke selokan, hilang di bawah kolong kendaraan-kendaraan yang gosong dibakar massa, minggat ke celah-celah kecil di atas tanah untuk kemudian diserap pohon-pohon yang haus setelah, mau tak mau, menjadi saksi terjadinya neraka buatan manusia.

Itulah nasib yang juga menimpa Lily. Tak ada yang lebih buruk di antara mereka yang bagai patung es bernasib malang. Semua lenyap begitu setiap potong es tadi mencair. Dan, yang bisa kami bawa pulang ke rumah keluarga mereka hanyalah sisa-sisa lelehan es dari diri para wanita itu. Sisa-sisa yang sama sekali tak mengobati kesedihan kami.

"Oh, Tuhan, kenapa harus anak saya?!"

"Oh, Tuhan, kenapa harus keluarga kami?"

"Oh, Tuhan, apa dosa kami?!"

Teriakan macam itu lama-lama menjadi hal yang biasa. 

"Kenapa harus anak saya dan kenapa bukan anak mereka dan apakah mereka benaran yakin mereka tak punya dosa sama sekali?!"

"Bukankah sudah jelas?!" Itu yang ingin kuucap di dalam keputusasaanku, tapi ingatkah bahwa saat itu bibirku mulai lesu sebelum seseorang atau diriku sendiri harus menjahit sesenti demi sesenti bibir atas dengan bibir bawahku agar tak sepatah kalimat pun bisa aku tuturkan?

Kejadian-kejadian seperti asap putih pekat di jalanan kota kami dan puing-puing es tadi hanyalah segelintir sebab yang membuat api di kepalaku makin mengganas. Tidak ada sepercik pun api yang menyembur keluar. Itu hanya neraka pribadi yang terjadi di dalam diriku saja, yang berpusat di kepalaku, membakar keseluruhan bagian terpenting dari diriku sendiri hingga habis tak bersisa meski sejatinya aku belum diizinkan untuk mati oleh-Nya.

Tuhan masih saja menahanku tetap hidup di sini entah untuk apa, alih-alih mematikanku, sebab itulah yang kurasakan; aku telah mati kecuali tubuhku saja. Jiwaku telah hangus total oleh apiku sendiri akibat menahankan amarah terlalu lama. Barangkali Tuhan mau aku tetap hidup agar dapat mengenang ini, lalu menceritakannya ke seseorang--siapa pun itu, yang mana mungkin itu tak akan berguna sebab aku sendiri tak benar-benar berani bicara kecuali bertahun-tahun pasca kerusuhan terjadi.

Ya, aku yakin itulah satu-satunya alasan yang paling masuk akal tentang kenapa aku masih hidup juga sampai bertahun-tahun lamanya pasca kerusuhan yang membuat gadis yang kucintai habis itu; menyampaikan kenangan buruk yang kelak mungkin akan didengar entah demi alasan apa.

Keadilan yang terlambat, barangkali, adalah sesuatu yang masih lebih baik ketimbang kejahatan yang sengaja dilupakan.

Ya, kurasa itulah alasan-Nya.

Tidak mungkin Tuhan membiarkanku hidup agar aku memiliki waktu untuk menemukan siapa yang menyakiti Lily, lalu memburunya sampai dapat dan kuhabisi dengan tangan kosongku; itu hanya omong kosong yang tak pernah terjadi di kenyataan. 

Lihat selengkapnya