Mungkin butuh waktu bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup untuk memahami kenapa Ayah menceburkanku ke sumur malam itu. Tahukah Ayah jika pertanyaan kenapa dan serangkai kata tanya lainnya terus menghantuiku? Lebih dari itu, tahukah Ayah jika saat itu aku tidak bisa berenang, kedinginan, dan hanya tenggelam?
Aku sudah tidak bisa melakukan apa pun lagi, selain berpikir seandainya ikan-ikan yang berenang di angkasa dan bintang-bintang yang bersinar di air dan lautan agar aku tak kegelapan di dalam sana. Seandainya waktu berjalan ke belakang dan bukan ke depan. Seandainya mimpi adalah kenyataan dan kenyataan adalah mimpi. Seandainya aku yang putih dan mereka yang hitam.
Lalu aku teringat dengan kisah-kisah para pahlawan yang sering kudengar sewaktu kecil. Ya, aku tumbuh dengan kisah para manusia hebat dan sakti yang bisa menyelamatkan dan melindungi orang-orang dari bahaya, penjahat, atau monster yang meresahkan. Lantas di manakah pahlawan itu saat aku tenggelam?
Ironis, aku pun pernah bermimpi jadi pahlawan. Namun, aku tidak bisa jadi seperti mereka—tidak akan pernah bisa. Aku tak punya kekuatan super atau kesaktian untuk menyelamatkan, aku justru memiliki monster mengerikan yang ditakuti orang-orang dalam tubuhku.
Ayah, ingatkah mereka sering menyebutku bocah terkutuk? Kupikir itu memang kebenarannya, tetapi Ayah selalu melindungiku dan mengatakan kalau kutukan dan anugerah itu hanya soal sudut pandang. Ibarat seseorang yang memiliki pedang di antara orang-orang yang tidak memilikinya, Ayah bilang kalau orang yang memiliki pedang itu belum tentu jahat atau akan melakukan kejahatan. Karena kenyataannya, pedang juga bisa digunakan untuk kebaikan. Lantas, kenapa malam itu Ayah berubah?
Napasku nyaris tak bersisa. Hanya air dan kegelapan yang membelaiku terlalu erat. Mereka menelusuk hidung, tenggorokan, dan paru-paruku. Dengan asa yang binasa, dadaku terbakar, tinggal menghitung detik sampai kehidupan akhirnya menanggalkan raga.
Mungkin ... inilah saatnya aku berjumpa dengan Ibu.
Namun, monster dalam diriku tidak berpikir serupa. Ia mengamuk dan berontak. Suaranya melengking memecah kebisuan malam. Hewan-hewan di sekitar terdengar ribut menjauh ketakutan—lari tunggang langgang.
Sel-sel dalam tubuhku membuncah. Tanganku yang ringkih merebak jadi bentuk yang paling kubenci. Semua jari-jemariku memanjang dengan cakar tajam. Di punggungku, tumbuh tanduk yang jalin-menjalin hingga jadi sayap hitam yang kasap dan runcing.
Aku menggeleng ringkih dengan kesadaran yang menipis. Tidak. Jangan. Aku mohon. Namun, aku tak kuasa mencegahnya. Tubuhnya sudah sepenuhnya berubah dalam tubuhku. Kini ia yang menguasaiku.
Dengan gesit, ia memelesat keluar dari sumur yang memerangkap kami. Ia sengaja bertengger di tepi sumur agar aku bisa melihat wujud kami lewat air sumur.
"Lihatlah, kau tidak bisa menghindarinya!"