Telaga Angkasa Tanpa Warna

Zya Zura
Chapter #4

Rimba Pengasingan

Darah. Lagi-lagi darah di mana-mana saat aku terbangun.

Seolah menelanjangi, sinar mentari pagi yang muncul di sela-sela kanopi pohon menegaskan pemandangan mengerikan itu. Aku mengangkat tangan, menghalangi seberkas sinar yang terasa menuduh telak ke wajahku. Tanganku masih utuh, meski berlumur darah yang sudah kering.

Aku kembali memejamkan mata lalu meletakkan sebelah tanganku di dada, berusaha mengorek apa pun yang terasa di dalam sana. Ternyata kosong, seperti sebelum-sebelumnya. Lebih buruk dari remuk yang kurasakan di sekujur tubuh.

Lagi-lagi gagal. Entah percobaan ke berapa, aku bahkan tidak bisa mengingatnya. Ya, mungkin malaikat maut pun enggan menemuiku. Memangnya apa yang bisa kuharapkan? Ini adalah nerakaku—kematian mudah bukanlah penebusan dosa sepadan untuk manusia setengah monster sepertiku. Aku harus tetap hidup agar bisa mati berulang kali dengan cara seperti ini.

Itulah kenyataannya, takdirku.

Akhirnya kupaksa tubuhku bangun, meski lunglai. Sekali lagi, aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Masih sama, tidak ada yang tersisa. Seluruh kawanan serigala besar itu telah mati—bergelimpangan dengan tubuh yang nyaris luluh lantak.

Dari celah dahan dan daun pepohonan sekitar, tampak burung-burung pemakan bangkai mengintip takut-takut. Mereka tidak pernah berani mendekat, kecuali jika aku sudah benar-benar pergi. Mungkin dibanding santapan menggiurkan, mereka lebih sayang dengan nyawa mereka.

Itu kenyataan lainnya, aku terkenal sangat buas dan mengerikan—bahkan oleh hewan-hewan. Namun, karena itulah aku dibuang ke sini: Rimba Pengasingan, sebuah pulau luas terpencil yang jadi tempat pembuangan orang-orang terhukum dan berdosa besar.

Alam di sini masih asri, liar, dan cukup anomali. Ada banyak hewan buas hingga tumbuhan berbahaya yang tidak bisa ditemukan di luar pulau. Di sini mereka sepertinya bermutasi sendiri. Pepohonan saja misalnya, tumbuh sangat lebat dengan tinggi dua kali lipat dari pohon biasa. Belum lagi cuaca ekstrem yang sulit diprediksi. Selain turun kabut pekat, terkadang mendadak ada badai atau hujan asam yang bisa melukai kulit.

Selain harus bertahan hidup dari keganasan alam, orang-orang terbuang di sini juga harus bertahan dari sesama mereka. Di sini yang berlaku hanyalah hukum alam. Tidak ada larangan untuk menyerang atau membunuh siapa pun. Juga tidak ada yang bisa keluar dari sini—sekeras apa pun usahanya, kecuali masa hukumannya sudah berakhir.

Berdasarkan pengalamanku bertahan di sini selama setahun, tak jarang ada orang yang sengaja menantang siapa saja yang ditemuinya untuk uji kekuatan. Mungkin aku nyaris termasuk orang yang begitu, meski tujuanku berbeda. Karena yang kucari adalah maut. Ironisnya, selama ini akulah yang selalu bertahan hidup. Itu sering membuatku bertanya-tanya, dari sekian banyak makhluk, kenapa aku yang masih hidup?

Sudahlah, pagi ini aku tidak ingin berlarut-larut dulu dalam pikiranku. Karena itulah aku segera berdiri. Langkah kaki kuseret menuju bangkai serigala yang tubuhnya tidak begitu koyak. Aku meraih pisau di kantong bajuku yang untungnya masih utuh lalu mulai menguliti bangkai itu.

Setelah selesai, aku membawa kulit serigala itu ke sungai. Langkahku tertatih dan yang kurasakan tetap kosong, tetapi aku tak ingin menengok ke belakang lagi.

Perlahan, jauh di belakang, sayup-sayup para burung pemakan bangkai saling berebut santapan. Aku pun tetap berjalan, meski tak ubahnya mayat yang dibangkitkan dari kematian berulang.


___


Seharusnya air bisa mengisi dan membersihkan apa saja. Mungkin apa saja, selain kekosongan dan dosa yang telah manunggal dengan raga dan jiwa.

Matahari semakin meninggi, gejolak sungai masih bergemuruh tak kenal waktu, dan aku masih kukuh berendam seperti batu di sungai. Aku mengangkat tanganku yang sudah pucat. Lumuran darah itu sudah hilang terbawa arus sedari tadi, tetapi aku masih merasa tangan ini kotor.

Sudah berapa banyak ... nyawa yang hilang karena tangan ini?

Angin berembus pelan dan kurasakan sesuatu yang pahit di dadaku kian naik lalu mengendap di lidah.

"Anak Muda, kami berhutang nyawa padamu."

Suara pria, kisaran paruh baya. Perkataannya sungguh aneh, yang benar saja dia berhutang nyawa padaku yang sering menghilangkan nyawa? Meskipun begitu, aku tak tertarik menoleh ke arah sumber suara. Telingaku kemudian menangkap suara dua pasang langkah kaki mendekat di belakang.

Apa yang mereka inginkan dari makhluk sepertiku?

Tebakanku benar, seorang pria tua. Ia berwajah teduh dengan rambut gondrong yang sudah memutih sebagian dan digelung secara asal. Namun, ia menghampiriku dengan cara tidak biasa. Ia meloncat ke depanku. Berdiri di atas arus sungai yang bergejolak tanpa goyah sedikit pun. Di sekitar tempatku berendam, seharusnya tidak ada batu besar untuk menumpu pijakannya di atas air itu.

Alisku sedikit terangkat—terkesan, meski ekspresiku tak sedikit pun berubah. Tampaknya ia berasal dari bangsa pendekar dan mungkin memiliki ilmu dan kesaktian tingkat tinggi.

"Kisanak siapa?"

Itu adalah suara pertamaku hari ini, terdengar berat seperti keluar dari dalam sumur yang dalam.

Lihat selengkapnya