Telaga Angkasa Tanpa Warna

Zya Zura
Chapter #5

Alasan Tetap Hidup

Api menggelegak di depan mataku yang gelap dan kosong. Aromanya menghantarkan kenangan yang ingin kupeluk sekaligus kubunuh, saat-saat ayah dan aku memanggang hasil buruan kami di tepi hutan; saat beliau dengan suaranya yang serak bersyair mendongengkan beragam kisah dan epos yang tak bosan-bosannya kudengar.

Udara malam yang terasa ringan membuatku ingin meringkuk, mungkin seperti dalam rahim ibu, ibu yang samar-samar dalam ingatan masa kecilku. Namun, yang kulakukan adalah menegakkan punggung di depan dua orang asing yang belum juga pergi setelah mengalahkan dua pemburu tadi. Mereka malah membuat api unggun sambil membakar ikan di hadapanku yang masih diam membatu.

Kenapa?

Sensasi hangat api terasa menjalar di bawah kulitku yang pucat. Sejenak, hanya sejenak. Aku merasa bisa bernapas tanpa dibebani sesak lalu tidur dengan nyenyak. Namun, hanya sejenak. Sebab, saat dingin angin menampar punggungku, aku kembali membeku. Kesadaranku seperti diseret pada ingatan di dalam sumur juga huru-hara setelahnya. Raungan, tangisan, banjir darah, kemudian ... tawa yang memekakkan telinga.

"Tolong ... berhenti," gumamku nyaris tak terdengar.

Pelipisku berembun. Suara-suara itu terdengar makin nyaring—seakan mau merobekkan seisi kepala. Pandanganku tak lagi jelas. Semuanya tampak kabur dan berputar tak tentu arah. Limbung. Tubuhku seperti kehilangan pijakan. Namun, kupaksa punggung tetap tegak. Aku tak mau terlihat lemah dan dikasihani siapa pun.

Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu yang terlewat saat itu. Aku hanya memejamkan mata dengan bibir yang gemetar. Sesak. Waktu terasa memanjang sekaligus menyempit saat aku mencoba meredam amukan suara itu dalam kepala, sama seperti sebelum-sebelumnya.

"Nak, apa kau baik-baik saja?"

Ada suara lain dari luar. Aku akhirnya membuka mataku yang masih berkunang-kunang. Samar-samar kulihat dua orang itu kini berdiri di hadapanku. Aku mengerjap, berusaha lebih memfokuskan pandangan. Raut wajah itu—tidak. Mereka tidak seharusnya tampak khawatir atau mengasihani makhluk sepertiku. Itu aneh. Aku tidak bisa menerimanya, meski nyatanya aku memang menyedihkan.

"Kalian ... seharusnya tidak mempedulikanku. Aku bisa menangani mereka sendiri-"

"Dengan berubah jadi monster?"

Perempuan berambut pirang itu menarik kerah baju lusuhku, memaksaku menatapnya telak. Sepasang mata ungu keabu-abuannya tampak berkilat-kilat tajam. "Jangan kira hanya kau yang bisa berubah jadi monster ganas. Oh, bagaimana kalau kita buktikan saja siapa yang paling kuat dalam bentuk itu?"

"Neel, duduklah!" seru si pria tua lembut.

Ia tidak mendengar. Tangannya malah makin terkepal kuat seperti siap meninju wajahku saat itu juga. Aku bergeming, tak bereaksi sedikit pun, meski suara-suara dalam kepalaku masih bergemuruh dan merusakku dari dalam. Ia akhirnya melepaskanku lalu berbalik membelakangi.

"Datuk, ayo pergi saja. Dia bahkan tidak pantas dikasihani. Lihat wajahnya itu! Dia sebegitu inginnya mati sampai tanganku tak tahu harus memukulnya untuk menyadarkan atau menghabisinya saja sekalian."

Setelah berkata begitu, ia mengambil satu ikan bakar lalu meloncat pergi ke salah satu dahan pohon sebelum hilang ditelan gelap.

Si pria tua bergeming dan hanya menatap kepergiannya sambil bergumam lirih. "Neel, sebenarnya apa yang membuatmu begitu kesal? Apa karena dia terlalu mengingatkanmu pada dirimu yang dulu?"

Mataku melebar, sedikit terkejut.

"Tolong maafkan Neel, dia masih belajar mengendalikan emosinya. Nah, Putra Rasalas, bukankah kau punya banyak pertanyaan di benakmu sekarang?"

Aku mengerjap terkejut. Jangan-jangan pria tua itu bisa membaca pikiran. Aku berusaha menatap matanya. Sama seperti siang tadi, mata dan raut wajah pria tua itu begitu teduh dan penuh kasih. Sesuatu dalam diriku bergemuruh—ingin mencabik-cabik raut itu. Aku akhirnya memilih memalingkan pandangan. Sungguh, aku tidak biasa ditatap seperti itu. Aku lebih terbiasa ditatap penuh kebencian atau ketakutan.

Keheningan menguasai kami. Satu pertanyaan paling besar akhirnya tak bisa lagi tertahan di tenggorokanku.

"Bagaimana ... Kisanak bisa tahu nama itu?"

Meski tak melihat ke arahnya, kurasa pria tua itu tersenyum tipis. "Wajahmu cukup mirip ayahmu sewaktu masih muda."

Aku sontak menoleh, meski masih menghindari matanya. "Anda mengenalnya?"

"Tentu saja. Dia adalah adik seperguruanku."

Sesuatu yang panas terasa naik dari dada ke tenggorokan dan mulutku. Gigiku bergemelutuk menahan rasa panas itu. "Jangan pikir kalau saya mau jadi seperti beliau."

"Aku tidak berpikir begitu, Nak. Aku tidak melihatmu sebagai pewaris Rasalas, bukan juga sebagai cermin ibumu. Aku hanya melihatmu sebagai tunas yang layu sebelum mekar. Mungkin karena itulah aku tetap di sini."

Aku tidak tahu apa maksudnya yang sebenarnya, tetapi mataku yang sayu melebar saat dia menyebut ibuku. Apa dia mengenalnya?

"Sial! Makhluk sialan!"

Lihat selengkapnya