Telaga Angkasa Tanpa Warna

Zya Zura
Chapter #6

Di Gurun Maut

Matahari menjulang angkuh. Tidak ada awan. Tidak ada air. Hanya pasir menghampar sejauh mata memandang. Aku menarik napas dalam, berusaha lebih fokus menyerap hawa panas di sekelilingku.

Semilir angin berembus panas, memperparah peluhku yang terus menguar di sekujur tubuh. Bajuku basah lalu kering kembali. Matahari mudah saja menguapkannya. Tubuhku makin kehabisan cairan, aku bahkan tak yakin sampai berapa lama aku bisa bertahan. Lidah dan kerongkonganku rasanya kering sempurna. Aku menggigit ujung bibir. Kepalaku seperti mau melepuh. Kakiku yang bersila di atas pasir tak terkira mati rasa.

Namun, ada yang lebih buruk dari itu. Angin mulai berembus kencang, berputar, dan menerbangkan pasir-pasir ke segala arah. Badai pasir lagi. Tubuhku yang ringkih nyaris terbawa arus. Aku segera memakukan diriku lagi ke tanah seperti yang diajarkan Datuk Sidra.

Badai makin mengepul. Aku merapatkan bibir, berusaha mengabaikan semua gangguan. Bagaimanapun caranya, aku harus bertahan sampai akhir.

Terhitung sejak fajar kemarin, Datuk melatihku menyerap hawa panas di Gurun Maut dan mengolahnya jadi arus jiwa atau Ravas—sumber kekuatan bangsa pendekar. Aku tak yakin sekarang waktu apa. Mataku harus terus terpejam. Namun dari yang kurasakan, matahari mungkin sudah tergelincir dari puncak, meski masih angkuh menyengat apa pun yang menantangnya.

Neel tidak ikut latihan kali ini, ia mungkin sedang berteduh di bawah batu besar. Wajahnya terus terlipat karena kami terjebak di gurun ini berhari-hari. Sebagai monster separuh peri air, ia yang paling tersiksa di sini.

Hampir lima tahun berlalu sejak mereka memungutku. Itu berarti umurku nyaris enam belas tahun. Datuk Sidra masih teguh, meski kini batuknya makin parah dan seluruh rambutnya sudah bermahkotakan putih. Meski menggemblengku dengan keras, ia guru yang menyenangkan. Kini, aku sudah lebih kuat dan tinggi. Itu membuat Neel kesal karena tinggiku sudah sejajar dengannya, dan dalam beberapa saat lagi pasti menjulang melewatinya.

"Buka matamu, Nak. Latihannya selesai."

Aku membuang napas panjang—mengakhiri latihan sebelum membuka mata perlahan. Datuk tersenyum lalu memberiku sebilah bambu berisi air. Aku langsung meneguk menghabiskannya.

Hawa panas yang kuserap sudah menyebar. Tubuhku tak lagi menolak, ia menerima panas itu jadi Ravas yang akan kugunakan nanti. Rasanya aku jadi lebih kuat, meski latihan ini tetap membuat ragaku jadi setandus gurun.

Kakiku sedikit kram saat bangun, tetapi ada yang membuatku terpaku diam. Matahari nyaris tumbang di ufuk sana, tetapi cahayanya yang tersisa menyajikan pertunjukan luar biasa.

Langit membentang jingga dan lembayung tanpa penghalang. Gurun pasir di sekeliling kami seolah berubah keemasan. Aku menahan napas, semilir angin membelai wajahku lembut. Rasa lelah itu seperti menguap, apalagi saat lukisan hidup itu perlahan mengelam. Titik-titik kecil bercahaya bertaburan menawan. Aku mengangkat tangan. Di sini, mereka terasa begitu dekat seolah mudah digapai.

"Indah, bukan?"

Aku mengangguk. Meski sudah berhari-hari di tempat gersang ini, aku masih dikejutkan oleh keajaiban senja dan langit malamnya.

"Heh, Bocah! Kalau kakimu sudah bisa digerakkan, ayo pergi dari sini. Aku menemukan wahah tadi."

Aku menoleh. Neel masih juga masam, tetapi setidaknya ia tidak mengomel panjang lebar. Mungkin belum.

"Ya, mari ke sana."

Datuk melenting lebih dulu. Ravas dari hawa panas bisa membuat larinya berkali-kali lipat lebih cepat, nyaris seperti kilat. Tunggu, dia sudah tahu jalannya?

"Malangnya." Neel terkikik menjawab kebingunganku. "Kau memang berlatih sendiri. Sejak siang, Datuk sudah ke wahah."

Ia ikut melesat dalam wujud monster ular mengikuti Datuk. Aku mengerjap lalu berlari mengikutinya sebelum tertinggal dan kehilangan jejak.

Ratusan pohon kaktus menjulang tinggi—batangnya tebal dan berduri, seperti penjaga purba yang melindungi rahasia. Semak-semak aneh yang entah apa namanya tumbuh seperti permadani berduri di antara kaktus itu. Aku melambatkan langkah, berusaha tidak menginjak mereka.

Setelah melewati rimbunan tadi, menjulang pohon-pohon kurma dan kelapa yang juga aneh. Batang mereka berwarna keemasan dan daunnya berkilau zamrud. Di tengah-tengah pepohonan itu, terbentang kolam kecil berundak tiga. Airnya bening, tetapi berkilap dengan warna yang sulit dijelaskan. Sumbernya memancar dari bawah batu besar berwarna abu pelangi, seperti sesuatu yang tak berasal dari mana pun di dunia ini.

Aku mendekat. Namun, langkahku mendadak tertarik ke atas. Tubuhku jungkir balik di bawah dahan kaktus tinggi di sampingku. Aku tak perlu menebak siapa pelakunya. Neel terkikik geli, tetapi tawanya mereda karena raut wajahku tak berubah sedikit pun.

"Menyebalkan. Setidaknya bereaksilah walau sedikit."

Aku tak menjawab, mengangkat punggung sedikit lalu memotong tali yang mengikat pergelangan kakiku. Aku berputar di udara lalu jatuh menyentuh pasir dengan posisi berdiri sempurna.

"Kenapa sih kau terus tumbuh tinggi? Aku lebih suka kau yang cebol."

Ia bosan. Bahkan setelah menemukan wahah ini ia tetap bosan. Berhari-hari kami hanya berhadapan dengan pasir tandus dan hewan-hewan berbahaya penghuninya. Maka, yang jadi hiburannya hanya aku. Mustahil dia mengganggu Datuk—orang yang sangat dihormatinya.

Mengabaikan Neel, aku mendekati kolam di undak terakhir. Aku berlutut lalu meneguk airnya. Rasanya aneh, sejuk sekaligus meninggalkan sensasi hangat di dada. Ini air yang sama diberikan Datuk tadi, tetapi meminumnya di sini secara langsung punya sensasi yang sulit dijelaskan.

Angin berembus pelan, membawa aroma bunga liar yang tumbuh di sela-sela bebatuan. Suara burung kecil terdengar samar, mungkin makhluk langka yang hanya muncul di sini. Aku terdiam lama, mendengarkan detak air yang jatuh dari batu. Di antara kaktus raksasa dan kelap-kelip bintang yang lembut, Gurun Maut di Rimba Pengasingan ini tak lagi tampak seperti kutukan, melainkan seperti pintu rahasia menuju kehidupan yang baru. Ah, apakah wahah ini dunia mimpi?

"Mandi sana, kau bau."

Air menghantam sekujur tubuhku. Dasar Neel, ia mendorongku sampai tersungkur ke dalam. Aku tak sempat protes karena masuk ke kolam tidak buruk juga. Airnya membuat tubuh terasa segar dan ringan.

"Seru, 'kan?" tanya Neel sambil menceburkan diri ke kolam di undak kedua. "Kalau bukan untuk mencari tumbuhan herba untuk Datuk, aku sih akan menetap di sini selamanya."

Aku mengerjap, lalu menoleh ke arah Datuk Sidra yang sedang memanggang sesuatu seperti umbi-umbian. Sebagai seseorang dari bangsa pendekar, raga dan daya tahannya jelas tangguh dan terlatih. Namun, hal itu seolah tak mampu mengalahkan penyakit yang dideritanya.

Di sini tidak ada tabib. Kami hanya bisa mengandalkan kemampuan Neel untuk menemukan tumbuhan yang bisa mengurangi sakitnya, walau sedikit. Namun, itu tidak cukup. Neel bilang ia bukan peri hutan yang tahu secara naluri tumbuhan penyembuh. Ia hanya peri air yang tahu dasarnya saja. Karena itulah, ia memutuskan kami harus menyusuri Rimba ini. Mungkin ia bisa menemukan tumbuhan atau sesuatu yang bisa menyembuhkan penyakit Datuk.

Datuk sendiri tidak mengiyakan juga tidak menolak. Ia selalu bilang pada kami kalau dirinya baik-baik saja dan penyakit itu hanya bagian dari masa tuanya.

Aku memejamkan mata, memutuskan menyelam dan mendinginkan kepala. Aku harap memang begitu adanya.


___


Lihat selengkapnya