Telaga biru

Zaafatm
Chapter #4

Chapter 3. Pemuda Yang Ambisius

“Tidak perlu memikirkan kian jauh tentangnya. Cukup sekali saja terluka, jangan lagi biarkan dia melukai untuk kedua kalinya.”

—Saka Alvarel Ganendra

●●●

“Lo nyaris mati karena belum tau berenang?!! Lo nggak bercanda, kan? Mana mungkin lo nggak tau berenang sampai sekarang!” pekik pemuda dengan hoodie putih itu keras-keras. Dia tampak terkejut dengan pengakuan sang sahabat yang menjelaskan dengan sangat rinci hal yang terjadi.

“Nggak usah ngeledek, lo! Jangan lupa, lo belajar berenang juga kelas satu SMA!” Saka ikut mengorak keburukan satu sahabat kecilnya ini tanpa ragu.

“Yang penting gue tau,” sahut Rey dengan raut pongah, seakan keburukannya jauh lebih baik dari pada sahabatnya ini.

Di antara banyaknya perbedaan sifat mereka, terselip satu persamaan yang mereka gandrungi bersama. Saka dam Rey memang tidak terlalu suka berenang seperti lelaki kebanyakan, mereka malah lebih suka bermain voli di pantai dari pada harus berenang mengikuti arus ombak.

Saka mendengkus sinis mendengar perkataannya, lantas menyerumput coffie latte di hadapannya. Mereka berdua tengah berada di Café Bintang—tempat paling nyaman untuk berkumpul dan mengobrol dengan bebas. Selain tempatnya yang begitu asri, cafe ini juga menyediakan ruang privasi bagi pelanggan yang ingin berkumpul dengan ramai tanpa takut mengganggu orang lain. Namun kali ini, Rey memekik keras tanpa ragu bukan karena mereka berada di ruang privasi, tapi karena cafe tengah sepi pengunjung.

“Lo serius nganggap dia manusia, Ka? Kok gue merasa di hantu, ya? Manusia mana yang tega liat orang lain nyaris mata kaya lo? Kalau dia bukan setan, berarti dia psikopat,” Rey kembali angkat bicara. Masih janggal dengan informasi sang sahabat yang begitu aneh terdengar.

“Gue nggak tau,” Saka menggidikkan bahu. “Yang jelas, itu kali pertama gue ketemu sama dia. Selebihnya, jika dia manusia atau bukan, gue berharap nggak pernah ketemu lagi. Serem!” Saka bergidik ngeri.

Masih teringat dengan jelas sorot matanya yang tak terbaca dan ekspresi datar tanpa cahaya. Dia memang bukan seperti manusia pada umumnya, sedatar-datarnya Aletta, anak itu tetap punya binar cahaya kala dia melakukan apa yang dia suka. Tapi ini berbeda, gadis itu tidak sama sekali punya binar, seakan hanya raga yang berjalan.

Rey mengangguk-anggukan kepalanya setuju. “Gue peringatin sama lo, jangan pernah ke telaga itu lagi. Siapa tau aja dia sosok yang tenggelam di sana, lo mana tau,” Rey menakut-nakuti.

Mengenal Saka nyaris sebelum lahir, Rey begitu paham kebiasaan cowok bermata teduh ini. Dia suka dongeng, dan sering mengajak Rey untuk pergi mencari bidadari saat umur mereka delapan tahun. Rey yang tidak suka buku dan cerita fiksi, jelas saja menolak mentah-mentah ajakan sang sahabat yang terobsesi pada cerita. Bahkan hingga saat ini, Rey tidak pernah bekerja sama untuk membuat Saka menemukan apa yang dia cari di setengah umurnya.

“Bener, gue juga mikir gitu,” Saka menimpali, namun kemudian dia tampak berpikir kembali. “Kalau dia hantu, masa bisa di lihat sama orang-orang, sih? Lo yakin nggak sih dia hantu?” Saka masih heran, ini pengalaman pertama yang sungguh membingungkan. Ia lebih baik di suruh memahami kenaikan saham dan menarik klien dari pada harus memahami situasi ini.

“Tau ah pusing! Gue nggak tau dan nggak mau tau!!” Rey menyerah, dia pusing memikirkan cerita sang sahabat yang jauh lebih rumit dari memecahkan rumus fisika.

Ngomong-ngomong, Rey Aidin Surendra adalah mahasiswa lulusan kedokteran. Dia anak kedua dari tiga bersaudara, bukannya menjadi penerus perusahaan Surendra milik keluarganya, Rey malah memilih menjadi seorang dokter. Cita-citanya tercapai, dia menjadi dokter umum di Rumah Sakit ternama ibukota.

Saka menyugar rambutnya dengan helaan nafas panjang. Sejak awal, hal ini yang menjadi tanda tanya besar di kepala. Bahkan Saka tidak bisa tidur semalam demi memecahkan teka-teki ini. Bukan apa-apa, Saka hanya ingin memastikan bahwa pilihannya untuk move on adalah yang terbaik. Karena ulah gadis bermata biru itu, Saka jadi dilanda bimbang berkepanjangan.

Jauh di keheningan, pikiran Saka kembali berkelana. Masih pada topik yang sama, seakan hal itu harus di pecahkan sesegera mungkin agar tidak menjadi kaset yang rusak. Ini mengganggu, dan Saka tidak bisa hanya diam dan berusaha melupakan.

“Eh, lo ingat kagak sama si Sena? Gilak!! Setelah wisuda, dia makin cakep aja, anjir!!” Rey memekik antusias.

Lihat selengkapnya