Telaga biru

Zaafatm
Chapter #5

Chapter 4. Lentera Redup Miliknya

“Kukira, itu pertama dan terakhir kalinya kita bertemu. Tapi opiniku salah, takdir sepertinya ingin bermain-main dengan kita.”

—Saka Alvarel Ganendra

●●●

Jam istirahat kantor tengah berlangsung, para pegawai berbondong-bondong pergi ke kantin untuk makan siang. Mungkin tidak hanya para karyawan, tapi juga para atasan. Bahkan CEO nya pun ikut bergabung bersama pegawai lainnya di kantin, menikmati makanan buatan pegawai bagian komsumsi.

Saka tengah berjalan bersisian bersama ayahnya menuju kantin. Bila ayahnya masih terlihat rapi, maka berbeda dengan Saka yang tidak lagi menggunakan jasnya. Sekarang, lengan kemeja miliknya di biarkan tergulung hingga siku, dasi yang sudah tidak serapi pagi tadi di biarkan tetap mengantung di leher.

Caferian perusahaan memang begitu luas, sanggup menampung seluruh pegawai perusahaan tanpa ada kata sempit-sempitan. Tidak heran, perusahaan ini telah berdiri puluhan tahun, dengan cabang di mana-mana. Dan mustahil kantin tersebut tidak di urus. Tempat itulah yang menjadi tempat untuk merehatkan sejenak pikiran, tempat itu juga menjadi tempat mengisi perut kala lapar.

Setelah mengantre bersama karyawan lain untuk mengambil makanan, kedua orang yang berpengaruh besar dalam perusahaan ini duduk di sisi lain yang tidak terlalu ramai.

Saka menyantap makanan yang dia ambil, lalu berdecak kagum kala rasa makanan ini tepat sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada yang berubah dari makanan kantin ini, makanannya tetap pas di mulut.

“Tadi, Mama mau ngasih bekal, tapi aku bilang hari ini nggak sibuk,” imbuh Saka sambil menyuap makanannya. Ia memang berangkat lebih lambat dari sang ayah, beliau punya banyak pekerjaan bertumpuk di ruangannya.

“Besok-besok, di terima aja bekalnya. Kamu tau kan kalau udah masuk kerja normal?” ayahnya bertanya.

Jelas saja Saka tahu. Setiap hari, ibunya selalu membekali ayahnya makanan. Karena bila sudah jadwal yang padat, beliau tak ingat untuk makan lagi. Bahkan saking romantisnya, ibunya kadang datang ke kantor demi menyuapi ayahnya yang sibuk pada berkas-berkas. Jangan katakan bahwa Saka tidak iri, dia benar-benar iri.

Belum lagi dia tidak pernah berpacaran, tidak pernah merasakan keuwuan sebuah pasangan. Dan lagi, dia belum kesampaian bertemu dengan bidadari. Namun tiap hari Saka harus menonton adegan romantis orang sekitarnya, Saka tidak kuat, ia ingin segera memiliki pasangan.

“Setelah ini, Papa ada rapat sama direksi. Kalau mau, kamu bisa ikut.”

Saka berpikir sejenak. Ini tawaran yang menggiurkan, sebab di sana ia bisa mendapatkan ilmu lebih banyak. Lagipula, tidak ada hal yang bisa Saka lakukan di kantor saat ini.

Sesaat Saka hendak menyahut setuju, matanya tidak sengaja menatap ke arah seorang perempuan dengan kemeja putih dan celana panjang berwarna hitam. Untuk sesaat, bibirnya terkatup rapat, menatap dengan jantung berdebar sosok itu.

Tidak. Ia salah.

Bukan gadis itu yang tengah berada di kantin ini.

Kata Ray, dia adalah hantu. Dan dia tentu tidak akan mungkin menyatu dengan dunia manusia. Saka hanya salah, dia hanya punya garis wajah yang sama.

“Ka, kamu ikut nggak? Papa udah selesai, mau siap-siap dulu,” ucap ayahnya menghentikan segala kekalutan Saka saat ini.

Lelaki dengan mata hitam ini langsung menoleh pada sang ayah, tatapannya pada sesosok perempuan ia biarkan terpaling demi menatap penuh wajah sang ayah. Setelah diam beberapa detik, Saka akhirnya menggeleng menolak ajakan pria ini. “Nggak dulu, Pa. Aku ada urusan sebentar,” alibinya dengan dada bergetar.

“Yasudah, Papa duluan,” pamit ayahnya.

Setelah beliau benar-benar telah pergi, fokus Saka kembali beralih pada perempuan berbaju putih di ujung sana. Dengan makanan di hadapannya, dia makan dengan tenang tanpa gangguan. Bahkan dia tidak merasa keberatan kala duduk sendirian saat makan, tidak ada tatapan iri yang di layangkan saat melihat karyawan lain tertawa sesama temannya.

Ada yang aneh di sini. Sejak kapan ada ketakutan di diri Saka kala melihat sosok itu. Ini tidak nyata, tentu saja. Dia bukan orang yang sama, perusahaannya jelas tidak akan memilih sembarang orang. Saka percaya, ini hanyalah halusinasi yang terbuat atas ketakutannya.

Lihat selengkapnya