“Di saat redupnya senja, masih ada banyak warna yang menemani kala mentari hendak kembali pada peraduannya.”
—Aleeza Calya
Aleeza Calya namanya. Perempuan dengan iris biru seterang lautan namun seredup malam itu memandang tanpa arti ke arah bangunan megah di hadapannya. Sorot mata kosong tak bernyawa ia biarkan mengarah lurus-lurus pada setiap inci permukaan bumi. Helaian rambutnya, ia biarkan beterbangan kala angin meniupnya di atas gedung apartemen tinggi ini.
Hari telah senja, matahari siap pulang hari ini. Namun di saat dia hendak kembali untuk rehat, ada pelangi yang melengkung indah di hamparan warna orange langit sore. Rintik-rintik tetesan hujan selembut salju menemani keindahan ciptaan Tuhan satu ini.
Nafas teraturnya di biarkan tetap stabil tanpa ada deru nafas kencang dari dada. Kakinya di biarkan tetap berdiri tegak di posisi semula—tanpa berubah sedikitpun darinya. Namun sayangnya, sorot matanya kian berubah saat matahari kian cepat di lahap waktu.
Sekali lagi, Aleeza Calya namanya. Perempuan yang sama sekali tidak mengenal dunia dengan baik. Perempuan yang sama sekali tidak pernah merasakan arti sebuah pelangi sesungguhnya.
Bila semua orang menyukai pelangi, maka berbeda dengan Aleeza. Baginya, pelangi adalah kesombongan yang nyata, yang tidak sama sekali memikirkan kekurangan orang lain dan tetap tampil memesona di sana. Tapi sepertinya, dia juga punya kesedihan yang tidak banyak diketahui oleh banyak orang.
Bila tersenyum itu melengkung ke atas, maka berbeda dengan pelangi yang malah melengkungkan cahayanya ke bawah. Seakan menunjukkan bahwa dia tidak secantik kelihatannya. Ada kesedihan di balik warnanya yang memukau.
Seperti itulah yang membuat Aleeza membenci pelangi. Dia menutup lengkungan kesedihan dengan warna yang indah, seakan mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Aleeza membenci topeng, ia membenci fake smile.
Aleeza tidak menyukai pura-pura, sebab itu bukan bidangnya.
Selain pelangi, Aleeza membenci telaga. Di sana, awal kisah mulanya bidadari kehilangan selendangnya, dan tak mampu kembali pada dunianya. Bidadari yang kehilangan selendang, harus kembali berjuang merintis hidup barunya bersama sosok yang tidak di kenalnya.
Hingga akhirnya, kebohongan pemuda terbongkar, dan bidadari kembali pada dunianya. Seperti itulah kisah dramatis bidadari yang di bohongi oleh pria yang hidup dengannya. Seperti itulah pentingnya memilah orang baru sebelum bermain peran bersamanya.
Aleeza tertawa penuh hampa kala ingatan cerita bidadari berputar di kepala. Cerita yang tidak pernah ia baca, namun sayangnya ia dengar saat menaiki bus dengan radio yang terus bersuara. Di sana, awal mula kebencian Aleeza pada telaga.
Saat gelap benar-benar menyapa, mata itu ikut tertutup sekali saja. Lama, hingga akhirnya terbuka dan memutar tumit segera.
Dari banyaknya kebencian akan sesuatu, ada satu hal yang Aleeza sukai. Yaitu petang. Jika hampir separuh makhluk bumi tidak menyukai gelap, maka berbeda dengan Aleeza. Jika semua orang menganggap pelangi adalah warna mereka, maka berbeda dengan Aleeza yang menganggap gelap adalah cahayanya.
Dia berbeda, itu sudah tergaris pada takdirnya. Aleeza bukan manusia yang normal, karena seperti itulah dia di lahirkan. Jika sudah masuk dalam hidupnya, maka Aleeza sendiri tidak bisa menjamin bahwa mereka bisa keluar dari dasar terdalam dunianya.
●●●
Kediaman Ganendra tampak ramai di saat pagi ini. Selesai sarapan bersama, dua laki-laki di antara mereka mulai melangkah untuk memasuki mobil masing-masing. Ada Aletta yang ikut masuk ke dalam mobil ayahnya untuk berangkat bersama, dan ada si kembar dan wanita setengah baya yang mengantarkan suami dan anaknya untuk bekerja.
“Dada Papa, Bang Aka, Kak Eta!!” si kembar mengeja nama-nama mereka bersamaan, tak lupa ada lambaian tangan mungilnya yang terus menghantam udara. Senyum manis si kembar terpatri begitu tulus dan polos, bahkan tidak lagi memedulikan kantuk yang masih bersemayam.