Telaga biru

Zaafatm
Chapter #3

Chapter 2. Telaga Kematian

“Telaga itu menjadi saksi bisu bahwa kamu bukan Bidadari yang selama ini aku cari.”

—Saka Alvarel Ganendra

●●●

Matahari semakin terik siang ini saat jarum jam menunjukkan pukul dua belas. Rumah begitu ramai padahal si kembar tengah tidur. Penyebabnya ialah, Aletta dengan musik andalannya yang keras menggema hingga keluar dari kamarnya. Sayang sekali ayahnya tidak membuat kamar Aletta kedap suara.

Di kamar Saka saja terdengar begitu nyaring, apalagi di kamar gadis itu sendiri. “LETTA!! BISA TULI GUE, LET!!” teriak Saka jengkel. Rencananya Saka ingin tidur siang, namun karena adik kurang ajarnya itu membuat ulah maka harapan itu pupus.

Mata Saka sudah begitu berat, hanya tinggal memejamkan mata dua menit saja ia pasti sudah jatuh tertidur. Tapi karena musik aneh ini, matanya sedang ngambek makanya tidak mau tidur.

“MA!! LETTA, MA!!” adu Saka sambil berjalan keluar dari kamarnya. Walau umurnya sudah 24 tahun, tapi jangan samakan tingkahnya dengan umurnya yang dewasa. Apalagi jika sudah menyangkut tentang tingkah menyebalkan Aletta, Saka pasti berubah menjadi anak remaja.

Brak!!

“Let!! Ingat waktu dong kalau dance itu! Ini siang bolong, Let! Semua orang pada tidurr!!” omel Saka bersungut-sungut. Di depan pintu kamar adiknya, Saka menatap dengan jengah pergerakan Letta yang tidak sama sekali terganggu dengan teriakan serta omelannya.

“Itu lo nggak tidur,” sahut Aletta ringan. Tubuhnya masih bergerak dengan bebas di depan cermin besar kamarnya.

Saka menarik rambutnya frustrasi sendiri. Cepat-cepat kakinya memasuki kamar Aletta dan mematikan pengeras suara yang sebentar lagi akan jebol. “Gue belum tidur juga karena lo! Berisik!” sentaknya jengkel.

“Apaan, sih?!” Aletta malah memasang wajah kesal, dan kembali menyalakan lagunya.

“Letta, please ... Acha sama Ana lagi tidur,” ucapnya berusaha membuat si keras kepala Letta mengerti.

Gadis itu akhirnya menghentikan gerakannya dan menatap sang kakak tanpa ekspresi. Namun tak lama, gadis itu kembali bergerak dengan bebas. “Bilang aja kalau lo yang keganggu,” Letta mencibir.

“IYA, LET!! YANG KEGANGGU GUE!! YA ALLAH! BUKAN ADEK GUE LO!” Saka bersungut-sungut jengkel dan langsung keluar dari kamar adiknya. Sengaja ia keluar tidak menutup pintu kembali, agar ibunya dengar dan mengomeli anak ini.

Hanya satu cara yang bisa Saka lakukan demi menghindari musik keras di rumahnya siang ini. Tangannya merampas kunci motor dan jaket di atas sofa kamar, kemudian keluar masih dengan mulut yang misuh-misuh kesal.

Seperti Aletta yang tidak kenal waktu, kemacetan pun demikian. Jalanan tidak pernah lenggang, selalu saja ada ratusan kendaraan yang terjepit di antara kerumunan kendaraan lainnya.

Untung saja Saka menggunakan motor, walau kini panas matahari begitu menyengat punggung tangannya. Di tiap ada celah yang bisa motornya lalui, di situ Saka terus menggerakkan motornya tanpa henti. Saka ingin pergi ke tempat yang damai, tempat yang sejuk tanpa ada suara keras musik Aletta.

Selama hidup Saka, tempat yang tidak pernah absen yang dia datangi adalah telaga. Selain tempatnya yang sejuk dan damai, di sana juga menjadi awal mula cerita Saka menyukai bidadari. Kata mama, bidadari akan datang saat hujan telah reda, namun hingga detik umurnya 24 tahun, Saka tidak pernah menemukan bidadari yang turun dari langit setelah hujan.

Saka paham bahwa itu adalah sebuah dongeng fiksi yang tidak benar adanya. Tapi ntah kenapa, hatinya terus bergerak dan membisikkan bahwa cerita itu bukan sebuah dongeng anak kecil saja. Saka hanya berharap, bahwa penantiannya selama ini menjadi nyata.

Setidaknya, biarkan ia percaya bahwa bidadari itu benar-benar ada.

Mesin motor miliknya di matikan seiring dengan hutan belantara yang menyapa. Saka tidak pernah mencari sebuah telaga yang berada di maps, ia mencari sendiri di tengah hutan yang lebat.

Bidadari suka tempat yang sepi dan tidak diketahui, bukan?

Bunyi burung dan ranting yang beradu membuat suasana hutan kian terasa syahdu. Aroma tanah dan kayu semerbak memasuki hidungnya. Rasanya menenangkan.

Tidak pernah terpikir bahwa Saka akan tersesat karena datang seorang diri di hutan yang besar. Saka seakan punya kompas yang melekat pada kepala yang membawanya ke arah telaga dan kembali pulang. Biasanya, Saka akan pergi ke hutan kala pagi, lalu pulang kala sore.

Saka benar-benar mirip seperti pencari emas dalam gua. Namun sayangnya jika para penambang menemukan emas yang mereka cari, maka berbeda dengan Saka yang terus-terusan membawa tangan kosong kembali.

Suara gemercik air mulai terdengar tak jauh dari tempatnya berdiri. Senyumnya terbit dengan tulus. Segera ia melangkah ke arah suara, agar tidak terlambat mendatangi sang bidadari dari telaga.

Kakinya mulai melangkah dengan pelan saat menatap telaga jernih berwarna biru di tengah hutan. Kembali, senyumnya hadir tanpa di perintah. Tempat ini begitu asri, seakan memang di biarkan hidup sendiri tanpa ada gangguan tangan manusia. Benar-benar cantik.

Lihat selengkapnya