Telinga yang Mendadak Tuli

Rosa Linda
Chapter #1

Hidup Yang Terus Berputar

Pemandangan begitu indah. Langit begitu cerah menghantarku pergi. Seluruh perabotan rumah dan barang-barang lainnya sudah dimasukkan ke dalam truk pengakut barang. Hari ini, aku memulai hidup baru di kota lain, kota yang aku harapkan bisa merubah segala takdir kehidupanku, dengan bermodal sisa tabungan yang cukup untuk memulai hidup baru. Jauh dari orang-orang yang sering meributkan bahkan menjatuhkan.


Siang ini, aku mulai membereskan peralatan daganganku. Kumulai dari membersihkan halaman rumah. Kususun beberapa kursi, meja dan gerobak. Tak lupa ku pasang spanduk kecil di sisi gerobak. Rumah Sate, Sedia berbagai Jenis Sate. Sebelum ku letakkan bahan dagangan. Ku tunaikan shalat dua rakaat memohon dibukakan pintu rezeki.


***


“Dia pakai dukun, makanya suaminya ga mau menceraikannya. Pakai pelet kali,” terdengar obrolan ipar dan tetangga sebelah rumah. Ingin rasanya ku hampiri orang-orang itu dan melabraknya. Tapi, lagi-lagi aku teringat nasehat Amak.


“Tak perlu menjelaskan apa yang difitnah orang kepadamu, percuma jika dimata mereka kamu memang salah. Anggap saja, mereka adalah ladang doamu terkabulkan”.


Jika tak mengingat perkataan Amak, mungkin aku akan menjadi monster bahkan ribut dengan ipar yang selalu bergosip kesana kemari. Sudah hampir 11 tahun aku menumpang di rumah mertuaku dan sudah 11 tahun pula menahan sakit hati yang teramat dalam. Sampai suatu hari, ketika aku memulai berdagang untuk membantu suamiku yang kena pemecatan dari perusahaannya, aku masih tetap saja mendapat ujian kesabaran. Beberapa kali, aku pindah lokasi gara-gara omongan ipar yang memfitnah diriku memakai aji-ajian untuk pelaris dagangan. Setiap kali menyewa tempat usaha baru. Ada saja, omongan orang menjatuhkan usahaku. Bahkan gerobakku beberapa kali dirusak anak iparku, mulai dari ban gerobak digembosi sampai kaca gerobak dipecah sampai hancur. Setiap kali menyampaikan keluhan, suamiku malah menyalahkan bahkan memukul sampai hidungku berdarah.


“Kamu itukan memang biang masalah, kita nikah sampai 11 tahun aja masalahnya dikamu. Kamu tuh kan, ga bisa punya anak. Jadi wajarlah orang ngehina kamu.”


Entah sudah berapa kali kata-kata itu terlontar dari mulut suamiku. Awalnya aku sakit hati mendengarnya, namun lama kelamaan kata-kata itu seperti pujian bahkan seperti nyanyian yang membuatku bersemangat mencari penghasilan sendiri. Beruntung, seorang saudara dari Ibuku memberikan modal usaha untuk berdagang gorengan. Saudara ibuku yang sering kupanggil, Amak. Amak senasib sepertiku, 35 tahun tidak bisa memiliki anak, yang membedakan. Suami Amak Landu seorang suami yang paham betul bahwa tak hanya wanita yang punya andil dalam menghasilkan seorang anak. Tapi, laki-laki juga berperan besar. 


“Sabar, toh sebelum kamu menikah, kamu sudah cek kesehatan tubuhmu dari ujung rambut sampai kaki. Kau sehat fisik dan batin. Bahkan, rahimmu subur. Nanti suatu hari, Allah akan titipkan seorang anak yang lucu dan sholeh dari rahimmu,” nasehat suami Amak, Umang.


Hampir satu tahun aku berdagang gorengan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Hingga, akhirnya menemukan tempat usaha yang sangat jauh dari rumah mertua, dan mulai terlihat hasilnya. Pernah sebuah perusahaan menyewa gerobakku untuk acara hajatan perusahaannya. Dari hasil itu, bisa membeli gerobak baru yang lebih bagus dari sebelumnya. Namun sayang, kebahagiaanku hanya milikku saja. Suami dan ipar tidak ikut senang atas keberhasilan berdagang, malah semakin menjadi telinga ini mendengar kata-kata “pujian”  dari mulut mereka. Aku hanya bisa menarik napas panjang, ingin rasanya melarikan diri dari rumah ini. Tapi, aku masih mengingat kewajibanku sebagai seorang istri. 


Hari demi hari berlalu, uang tabungan yang kutitipkan di Amak semakin banyak. Uang modal berdagang berhasil aku kembalikan. Tak hanya uang yang berhasil dikumpulkan. Suamiku Pun sudah mulai bekerja kembali di sebuah perusahaan besar. Sebuah jabatan lumayan tinggi dijabat. Uang belanja keperluan rumah yang hampir dua tahun aku tanggung sendiri, kini tak lagi kutanggung. Uang hasil dagangan, benar-benar sepenuhnya ku tabung. cita-citaku membeli sebuah rumah walaupun kecil akan segera terwujud.

Lihat selengkapnya