Telinga yang Mendadak Tuli

Rosa Linda
Chapter #2

Kedua Mata Yang Hampir Tertutup

Kubersihkan sepatu yang terkena noda tanah. Noda tanah coklat yang pekat membuat sepatuku berwarna hitam terlihat jelas kotor.


“Ingat, Sania. Kau harus pilih baju itu yang bagus sedikit. Jangan kau belikan baju daster,” kata Amak ketika memasuki sebuah pusat perbelanjaan.


“Daster sekarangpun, bagus-bagus Amak. Artis pun banyak pakai daster, Amak,” jawabku menyakinkan Amak.


“Tak perlu kau tiru artis. Hidup dia berbeda dengan dirimu. No...no… Janganlah kau pilih itu. Umurmu belum kepala tiga. Bergayalah sedikit. Kau tak lihat, gaya Amak. Umur Amak hampir setengah abat, tapi kau lihat gaya Amak, seperti umur 30 tahun,” kata Amak sambil memutarkan badannya.


“Sudah...sudah.. Amak saja yang pilihkan. Kau duduk manis disana,” lanjut Amak dan Amakpun mendorong badanku ke arah sofa empuk di depanku.


Setelah puas berjalan dan berkeliling pusat perbelanjaan. Aku dan Amakpun memutuskan mengisi perut kami yang kosong. Amak memilih tempat makan favoritnya. Amak bilang, tempat makan itu adalah tempat dia bertemu dengan suaminya.


“Nah, disini Amak duduk. Waktu itu, suami Amak yang ganteng kayak opa-opa itu, sedang antri makanan. Dia terpesona melihat mata Amak yang menawan,” kata Amak bangga.


“Opa, Amak? Kakek-kakek?” kataku sedikit tertawa.


“Ish, bukanlah,” kata Amak sedikit memonyongkan bibirnya.


Setelah menunggu lima belas menit, makanan yang kami pesan tiba. Amak begitu menikmati makanannya. Aku memperhatikan wajah Amak. Amak pengganti Ibu yang telah tiada sejak aku kecil. Aku diasuh Amak ketika adik Ibu yang bungsu tak sanggup lagi merawatku. Amak sudah aku anggap seperti Ibuku sendiri. Mulai dari urusan sekolah sampai menikah, Amak mengurusku seperti anaknya sendiri. Masih aku ingat, betapa Amak menentang pernikahanku dengan Kang Aji. Amak bilang, Aji bukan laki-laki yang bisa membahagiakan hidupku. Dia akan menjadi laki-laki yang akan menyiksaku lahir bathin. Dulu, aku berusaha meyakinkan Amak. Sekarang, aku baru mengiyakan apa yang dikatakan Amak dulu. Amak, maafin Sania.


“Tak makan? Diet?” kata Amak yang mengagetkanku.


“Tidak, Amak. Masih panas. Sania tak bisa memakan makanan yang panas,” jawabku singkat.

Lihat selengkapnya