Telinga yang Mendadak Tuli

Rosa Linda
Chapter #3

Tak Lagi Bergetar Seperti Gawai

Semua belanjaan oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam tas. Amak dan aku segera menuju parkiran. Amak tampak senang, cemilan yang sudah lama dicarinya ketemu, manisan buah pala.


“San,” suara orang memanggil namaku. Suaranya tampak tak asing di telinga.


“Aih, manusia ini lagi. mau apalagi dia Sania. Amak tak suka melihatnya,” kata Amak kesal, ketika dia melihat Kang Aji menghampiriku.


“Apa kabar San?” tanya Kang Aji.

“Baik, Sania baik. Sudah nanyanya. Udah mau magrib ini, ayo Sania pulang,” jawab Amak ketus. Amak benar-benar menunjukkan ketidaksukaannya. Amak menarik tanganku. Aku hanya bisa tersenyum, dan mengucapkan kata pamit.


Di dalam mobil, Amak masih mengomel tiada henti. Amak, benar-benar murka melihat Kang Aji yang tiba-tiba nongol di hadapanku.


Masih tergambar jelas, ekspresi wajah Kang Aji yang melihatku mengemudikan mobil, mungkin dia tak menyangka jika aku bisa melakukannya. Masih teringat jelas, ketika aku masih bersamanya dan dia mendapatkan sebuah mobil dari kantornya.


“Sandalnya yang bersih, baju yang bersih. Ini mobil mahal, kamu enggak akan mampu membelinya. Model kamu, cocoknya jangan duduk di depan, ga pantes. Entar aku dibilang, nganaterin nenek-nenek,” kata Kang Aji merendahkanku. Aku yang semula ingin menaiki mobil, ku urungkan. Lebih baik aku menaiki angkutan umum, daripada aku harus mendengar dia berkicau tentang tata cara menaiki mobil.


Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Jika kuturuti dan mengingat-ingat masa dimana aku disakiti, mungkin aku tak akan seperti hari ini. Mengingat-ingat kenangan yang menyakitkan itu akan menambah luka dihati. Aku ingin menghapusnya, jika perlu akan kusediakan di otakku sebuah program HAPUS PERMANEN. Kenangan-kenangan itu akan kubuang tak akan kusimpan. Walaupun perlahan untuk menghapusnya, aku yakin hatiku akan jauh lebih baik jika tak mengingat-ingatnya. Aku hidup disaat ini, bukan di masa lalu. Aku harus menikmati hidup betapapun beratnya.


Kubuang pandangan mataku ke jalanan yang sedikit macet. Sudah mendekati rumah, jalan masih enggan lenggang.  Seorang pria berseragam coklat berdiri mengatur lalu lintas jalanan. Kuperhatikan baik-baik warna bajunya. Kubuka dompetku, tak kulihat kartu bertuliskan SIM. Dadaku bergemuruh hebat.

Lihat selengkapnya