“Stop, maju satu langkah lagi. Awas!” teriakku pada seorang pria yang sedang membawa seekor kucing. Kucing itu tak seperti kucing kebanyakan yang kecil dan imut. Kucing ini sungguh sangat besar, seperti seekor cheetah. Kucing itu, tiba-tiba mendekati dan kepalanya mengelus badanku. Aku yang begitu takut melihat ukurannya berlarian ke rumah tetangga, sedangkan pria itu menjadi serba salah karena kucing peliharaannya mendadak memeluk dan menjilati mukaku.
“Cinta, kemari. Cinta,” kata pria itu memanggil peliharaannya. Kucing itu perlahan melepaskan pelukan, berjalan menghampiri tuannya dan pergi. Namun, tak berapa detik, tiba-tiba kucing itu datang kembali, melompat dan menjilati mukaku.
“Meong,” suara yang keluar dari mulut kucing itu menambah ketegangan wajahku. Pria pemilik kucing itu, malah tersenyum kecil melihat peliharaannya yang lepas.
“Mbak, mbak nggak kenapa-kenapa kan?” kata tetanggaku. Dengan tubuh yang masih bergetar hebat, aku berjalan perlahan menuju rumah. Sungguh apes sekali hari ini, maksud hati aku ingin berolahraga pagi, malah bertemu dengan kucing yang super besar dan membuatku menjadi malu setengah mati.
“Kenapa, San,” tanya Amak yang melihat kerudungku porak poranda.
“Ada angin puting beliung, San,” goda Amak.
“Kucingnya lucu loh, San. Beli yuk,” kata Amak menggodaku lagi.
“Amak,” kataku sedikit kesal, sambil menuju ke kamar mandi.
“Nih, ada titipan dari pemilik kucing tadi. Dia minta maaf. Tadi sih, waktu kamu masih mandi. Amak ngobrol banyak. Itu bukan kucing biasa. Kucingnya juga, jarang suka sama orang asing. Kucing mahal, apa tadi ya namanya, pana. Apa tadi ya? Terpana, sungguh aku terpana,” kata Amak sambil bernyanyi.
“Savannah, Amak. Kucing mahal,” kataku yang masih sedikit kesal.
“Dikasih plester nih. Lucu plesternya, San. Gambar kucing. Ada buku notesnya juga, semuanya gambar kucing,” kata Amak yang memeriksa isi tote bag.