Kutendang ember yang tak bersalah sekencang-kencangnya. Hari ini, aku benar-benar kesal, bagaimana tidak kesal Kang Aji dengan entengnya berkata akan menyetujui gugatan cerai, jika aku bisa memenuhi tebusan yang disyaratkan.
[Saya, akan menyetujui dengan sangat… sangat setuju. Jika Sania memberikan semua usahanya kepada saya. Usaha restorannya yang maju itu. Toh, awal usaha itu, modalnya dari kantong saya].
Sebuah terusan pesan singkat dikirim Amak pagi ini. Aku yang semula senang karena tidak ada lagi yang mengganggu hari-hariku, kini harus mendapat berita yang kurang enak.
Sejak kapan Kang Aji memberikan modal usaha kepadaku. Kang Aji tidak memberi satu persen pun, yang dia berikan hanya perkataan yang menyakitkan.
“Dari kantongnya? Kantong dari hongkong,” kataku kesal dan lagi-lagi ember yang tadi kutendang, kutendang kembali.
Untung aku tak berada di depanmu, Kang Aji. Jika Iya, mungkin ember itu bukan kutendang, tapi kupukul ke kepalamu. Hatiku benar-benar panas, semua kekesalanku kembali terangkat ke permukaan.
“Pelaku pembunuhan seorang pria tanpa busana, ternyata istrinya sendiri. Menurut keterangan pelaku, dia sangat kesal karena suaminya selalu minta gelas kopi hello kitty yang dibelinya. Padahal gelas kopi tersebut tidak pernah dibeli dari uang suaminya, melainkan dari uangnya berdagang baso aci,” Tiba-tiba televisi tipis itu menyala, aku tak sengaja menduduki remot.
Kupandangi ember yang tak bersalah di sudut pintu. Ember itu sudah tak berbentuk lagi, hancur berantakan. Kupungut pecahan ember di lantai.
“Maafin ya ember,” gumamku pelan. Kuambil handuk kemudian kudinginkan kepala dengan air. Setelah selesai shalat dua rakaat, aku membuka pintu. Kupandangi langit pagi ini, cerah. Kutarik napas dan kuhembuskan perlahan.
“Ya Allah, jika memang ini baik untuk kulepaskan. Maka hadirkan, keikhlasan yang teramat besar di hatiku dan ganti dengan sesuatu yang lebih baik dan aku menjadi lebih dekat denganmu,” ucapku pelan.
“Jangan pernah berharap, Sania akan bertemu dengannya, Amak. Kalaupun harus bertemu, biarlah pengacara saja. Sania mendadak mual jika ada yang menyebut namanya,” kataku diujung telpon.
Memang, kemarin aku yang meminta khuluk, perceraian dari pihak perempuan. Menurutku ini adalah solusi dari segala solusi permasalah. Aku sudah memikirkan secara baik-baik, ditambah statusku yang telah digantung hampir dua tahun. Selama itu, aku tak mendapat apapun, nafkahpun tidak.
“Dia, akan mengganti tebusan jika engkau datang bersama Amak untuk membahas masalah ini. Amak tak bisa berbuat banyak,” kata Amak menjelaskan.
Aku tahu, itu hanya akal-akalan dia saja. Aku hafal betul, bagaimana dulu, ketika dia menalakku dengan dua kali talak. Dia mengusirku kemudian dengan muka manis dan segala janji dia lontarkan. Diapun membawa seorang ustad agar bisa menikahiku kembali dan akupun rujuk. Aku yakin sangat yakin, ketika dia bertemu denganku dia akan melakukan hal yang sama.