Fisa melihat langit malam sendirian di lapang basket. Kedua tangannya saling menggenggam. Malam ini tak ada bintang yang terlihat. Hanya langit pekat ditemani bulan yang temaram.
Di sini, tempat yang penuh kenangan. Fisa mengingat kembali pertemuannya dengan lelaki yang memiliki dua identitas. Lelaki polos yang tulus dan juga bos cuek namun penggoda. Lelaki yang penuh dengan gejolak. Terkadang ia baik tapi juga menyebalkan. Kadang ia selembut hati malaikat namun juga sekeras batu saat telah memutuskan.
Sebenarnya dimana salah Fisa? Apakah perasaan di antara mereka terlalu mudah untuk sirna? Apa Mungkin Darma benar-benar melepaskan semua kisah yang pernah dilewati bersama?
Adifisa menghela napas. Otaknya terlalu keras bekerja sampai menguras perasaan. Dadanya sesak tak tertahankan.
"Mungkin aku yang terlalu menyukai dia, sementara dia gak sesuka itu sama aku. Sampai-sampai tunangan sama orang lain secepat ini," gumam Fisa.
Hatinya terasa begitu sakit. Mengapa saat dirinya benar-benar mencinta ia malah terombang-ambing dalam perasaan yang tak berujung. Bukankah ia telah mengalami kehilangan yang begitu menyesakkan? Tapi mengapa saat menemukan kembali orang yang dicintai kisah cintanya malah tak berujung memiliki. Apa skenario kisahnya dengan Darma terangkai sepedih ini? Apakah cerita ini telah benar-benar berakhir?
"Kak, lagi ngapain?" Ramka tiba-tiba hadir dan duduk di sampingnya.
"Kamu ngapain ngikutin Kakak?" Fisa balik bertanya tanpa memandang Ramka.
"Gak ngikutin, cuma mau cek cewek yang lagi patah hati aja, takut bunuh diri," ujar Ramka.
"Kamu tuh ya, kenapa sih kalau kakak pas galau selalu ada?"
"Ya bagus dong, artinya gak sia-sia punya Ramka, yang setianya lebih dari seorang pacar."
Fisa yang sepanjang hari murung kini tersenyum mendengar kalimat manis dari adiknya.
"Pulang yuk, dingin banget kak."
"Kamu aja pulang duluan," jawab Fisa.
"Hati-hati lho kak sendirian di cuaca sedingin ini," Ramka memicingkan mata seraya memberikan peringatan.
"Nanti Kakak jadi Elsa yang bisa ngeluarin es," Ramka berdiri.
"Terus kamu mau jadi Anna gitu?" Fisa terkekeh membayangkan Rafka memiliki rambut kepang seperti Anna.
"Enggak lah, aku gak mungkin peranin Anna."
"Terus mau jadi Kristoff gitu? Atau Pangeran Hans? Yang ganteng-ganteng gitu?"
"Enggak Kak. Aku jadi Olaf aja, cukup tahu diri," balas Ramka dengan wajah pura-pura sedih. Kakaknya tertawa kembali.
"Aku seneng banget kalau Kakak ketawa lagi."