Seorang gadis berambut panjang berada di atas gedung. Angin malam bertiup ke blazer cokelatnya. Mata itu menatap pemandangan kota yang dipenuhi bermacam warna penerang dunia. Sebelah kakinya perlahan naik ke tembok pembatas. Gerakannya terhenti saat seseorang berteriak ke arahnya.
Saat menoleh, sesosok tubuh terlihat berlari ke arahnya. Tangan orang itu tiba-tiba membekap mulut dan hidungnya dengan sangat cepat. Ia meronta, namun lelaki itu semakin kuat memegangnya.
“Tolong!” teriaknya tertahan oleh sapu tangan.
Gadis itu menegakkan kepala. Matanya terbuka seketika. Di hadapannya kini hanya layar komputer yang masih menyala. Dilihatnya jam digital yang berada di sudut bawah layar. Pukul setengah dua belas malam. Mimpi? pikirnya seraya mengusap wajah.
“Ah, mimpi buruk,” desahnya yang kemudian terdiam. Ia mencoba mengingat wajah orang yang muncul di mimpinya.
“Kenapa setelah bangun wajah itu jadi nggak jelas di ingatanku, ya?”
Beberapa detik kemudian perempuan itu mematikan komputer. Tidak ada gunanya jika terus mengingat. Baru kali ini ia lembur sampai tertidur. Bahkan, mengalami mimpi buruk yang terasa nyata baginya.
Saat merapikan meja, matanya melihat ke arah ponsel. Ada dua pesan masuk yang belum dibaca. Diraihnya benda itu dengan cepat.
Halo, ada orang gak di nomor ini?
Salah satu sudut bibirnya terangkat ketika menemukan nama Bungi tercantum sebagai pengirim. Kemudian ia beralih ke pesan berikutnya yang berasal dari Ramka.
Kak, pulsa listrik mau habis. Aku lupa kasih tahu, maaf yaa.
Perempuan itu menghela napas. Ia mematikan lampu ruangan dan segera keluar. Sesampainya di basement, ia melihat beberapa mobil yang masih terparkir. Termasuk mobil berwarna merah milik Sadina.“
"Dia ternyata bisa lembur juga?” nada sarkastis keluar dari mulutnya. Ia pun masuk ke dalam mobil.
Beberapa menit kemudian ia sampai di sebuah swalayan yang buka 24 jam. Ia turun untuk membeli pulsa listrik dan sebotol minuman dingin. Setelah selesai, ia kembali ke mobil dan menghabiskan setengah botol minuman rasa jeruk sebelum menyetir.
Adifisa Tantawi, atau biasa dipanggil Fisa telah hidup sebagai seorang workaholic. Otaknya hanya dipenuhi satu kata yang ditulis berulang-ulang. Kerja, kerja, dan kerja. Padahal, bumi begitu luas untuk dijelajahi. Begitu banyak hal di dunia ini yang bisa di lihat selain meja kerja dan kertas-kertas yang penuh angka. Ada banyak hal yang bisa mengenalkannya pada keindahan dunia dengan traveling ke berbagai tempat yang sedang populer.
Sayangnya, ia lebih memilih berkutat dalam kehidupannya yang sibuk. Sekalipun mendapatkan uang banyak, ia juga tak mengenal kata shopping. Semua uangnya tidak pula ditabung. Uang-uang itu digunakan untuk kepentingan keluarganya.