Pagi-pagi sekali Fisa sudah mencuci baju dan piring. Ia pun sudah membuat nasi goreng untuk sarapan pagi. Hanya itu yang bisa ia buat untuk kedua saudaranya.
Ramka yang sudah ada di meja makan terlihat masih mengantuk. Bahkan, nasi di sendoknya tak sampai ke mulut karena jatuh kembali ke piring berulang kali. Sendok itu pun akhirnya jatuh ke lantai.
“Ramka, cuci muka sekarang, biar segar,” ucap Fisa. Ia masih sibuk merapikan peralatan dapur.
“Harusnya tadi aku mandi pakai air es,” balas Ramka dengan suara malas.
“Iya. Terus airnya ditambah perasan jeruk, biar tambah segar. Kamu ini pagi-pagi ngaco, deh!” Fisa mulai duduk di meja makan. Ramka hanya menanggapi ucapan kakaknya dengan menguap.
“Ngomong-ngomong, nanti kamu pulang sekolah langsung ke rumah sakit, ya. Biar Ibu bisa pulang dulu. Sekalian Kakak titip uang,” perempuan itu mulai merogoh saku blazernya. Pagi-pagi pun ia sudah siap dengan pakaian kerjanya.
“Waduh, Kak. Kayaknya aku gak bisa, deh. Pulang sekolah aku ada latihan basket,” Ramka menolak dengan halus. Rasa kantuknya berangsur menghilang.
“Ya ampun, Ramka. Kamu tega lihat Ibu pingsan? Ibu tuh kurang tidur,” ujar Fisa dengan nada sedikit tinggi. Ramka terdiam. Seketika kedua matanya tak merasa mengantuk lagi secara mendadak
“Kamu gak kasihan kalau Kakak dipotong gaji gara-gara bolos kerja?” Fisa menatap tajam ke arah Ramka. Adiknya memalingkan wajah.
“Atau mungkin ... kamu siap untuk minta Kak Adana keluar rumah untuk gantiin Ibu?” Adifisa tak henti bersuara.
“Kakak tuh egois! Semuanya diatur sama Kakak. Mau latihan basket aja Ramka gak punya kebebasan sama sekali!” protes Ramka yang langsung berdiri dan mengambil tasnya yang tersampir di kursi. Fisa ikut berdiri.
“Ramka, kamu kan tahu alasannya, Kakak cuma ...,” ucapan Fisa terhenti saat Ramka keluar dari rumah dengan berlari.
Fisa langsung terduduk kembali. Diletakkannya kedua tangan yang saling bergenggaman di atas meja makan. Baru saja ia ingin sedikit tenang setelah kejadian semalam, tapi yang terjadi malah perdebatan dengan adik sendiri.
Fisa tiba-tiba teringat sesuatu dan beranjak dari kursi. Ia berjalan menuju kamar Adana. Ia segera mengintip dari pintu kamar yang dibuka perlahan. Adifisa bernapas lega. Syukurlah, perempuan itu masih tertidur di ranjangnya. Fisa menutup pintu kembali. Semoga kejadian semalam tak terulang lagi.
Ia mulai kebingungan tentang bagaimana menjaga kakak perempuannya itu. Memang, saat pagi hingga sore Adana tak pernah berbuat di luar kendali. Adana akan baik-baik saja selama ia berada di dalam rumah. Akan tetapi, jika hari gelap dan tak ada penerangan, dia selalu kehilangan jati dirinya. Fisa bahkan tak lagi mengenalinya. Ia harus segera bertindak demi kesehatan mental Adana.
Setelah memastikan semua bagian rumah aman dan nyaman, ia pun segera membuka gerbang dan bergegas ke kantor. Adifisa memang sering berangkat satu jam sebelum jam masuk kerja. Berjaga-jaga jika terjadi kemacetan.
Hidupnya saat ini memang berat. Ayah yang sebelumnya menjadi penopang keluarga kini dirawat di rumah sakit karena kesehatan jantungnya yang menurun. Hampir sebulan koma, dan baru sadar beberapa hari lalu. Karena itulah, ibunya jarang berada di rumah karena sibuk menjaga ayahnya.
Sebagai pengganti ibu, ia mengerjakan semua pekerjaan rumah ketika pulang bahkan sebelum berangkat kerja. Fisa pun terkadang menjaga sang ayah jika libur. Namun selebihnya, hanya Ibu dan Ramka yang sering bergantian menjaga di rumah sakit.
Perdebatan tadi membuat Fisa tak fokus menyetir di jalanan. Baru kali ini Ramka berbicara seperti itu padanya. Ramka mengucap penolakan yang berakhir penyerangan padanya. Sungguh Fisa merasa bingung sekaligus kesal.
Di sisi lain, Fisa mengerti bahwa adiknya hanyalah seorang anak laki-laki yang masih duduk di kelas dua SMA. Masa-masa saat para remaja menghabiskan waktu dengan teman-temannya atau bahkan dengan hal-hal yang mereka sukai. Adifisa mungkin terlalu memaksakan kehendak.
Sebenarnya, bukan keinginan Fisa untuk berbuat sepihak, tapi memang tak ada orang yang bisa ia andalkan lagi. Kakak perempuannya yang selalu menjadi sandaran, mengalami trauma sejak setahun yang lalu. Ia bukan hanya histeris dalam kegelapan tapi juga tak pernah mau keluar rumah lagi.
Mobil hitam itu menepi. Mata gadis yang berwarna cokelat itu tertuju pada sebuah tempat yang cukup ramai. Tepatnya sebuah halaman dari tempat rekreasi.
Fisa melihat jam tanganya hanya sekitar lima ratus meter lagi. Beruntung jalanan tidak terlalu macet.
Ia segera turun dari mobil. Otaknya butuh sedikit penyegaran. Dipakainya kacamata cokelat tua favoritnya.
“Apa sebaiknya cari sesuatu dulu ya buat Ramka? Biar dia gak marah lagi,” gumamnya sambil berpikir. Niat kedua selain untuk penyegaran diri telah muncul di benaknya. Ia pun merapikan blazer sambil menarik napas.
“Saatnya berburu barang bagus!” serunya.
Ia pun berjalan menyusuri beberapa kios pedagang. Pandangannya tertuju pada satu titik. Accessories yang dijual di emperan. Kakinya yang tersangga high heels itu tak membuatnya ragu untuk berjongkok.
Gadis itu mencari sesuatu yang paling menarik untuk Ramka. Adiknya tak begitu suka barang yang aneh-aneh, jadi Fisa memilih jalan aman saja. Sederhana dan cocok untuk anak seumuran Ramka. Setelah beberapa saat mencari, pilihannya jatuh pada gantungan bola basket yang terbungkus plastik bening.
“Bang, ini berapa?” tanya Fisa yang langsung melihat pada si penjual yang sedang menata dagangan yang telah diacak gadis itu. Fisa sempat terbelalak saat melihat paras si penjual yang terlalu tampan untuk seorang pedagang. Untung saja ia pakai kacamata berwarna gelap, jadi orang itu tak akan mampu menangkap basah ekspresinya.
“Lima puluh ribu, Mbak,” jawabnya.
“Hah? Mahal banget! Kalau harganya segitu dompet saya bisa teriak, Bang! Mending juga bayar hutang!” Fisa mengerutkan keningnya. Awalnya ia mengira wajah tampan seperti itu hanya milik pangeran-pangeran yang berhati mulia, tapi ... lelaki ini malah perampok harga. Sungguh tidak logis untuk harga sebuah gantungan. Bagi Fisa lelaki itu terlihat seperti pangeran jahat yang tersesat dengan para lintah darat.
“Ya udah, kalau gitu gratis aja,” balasnya. Fisa tercengang.
“Kok jadi gitu sih jualannya?”
“Iya gak apa-apa. Kasihan,” lelaki itu mulai menggantung beberapa kalung di tiang kayu yang tak terlalu tinggi dengan beberapa paku sebagai tempat pengaitnya.
“Kasihan? Emang saya kenapa, Bang?”