Telur Manis

Vina E. Silviana
Chapter #3

Bab 3

Di perjalanan pulang, Fisa memikirkan tentang penerimaan karyawan baru. Untuk menerima satu orang karyawan OB, rasanya terlalu berlebihan jika dibuat iklan lowongan kerja ke seluruh penjuru negeri. Terlebih kriteria yang dicaripun tidak terlalu sulit. Adifisa mulai teringat sesuatu. Ia lalu tersenyum simpul.

   Sesampainya di depan rumah, ia melihat gerbang yang terbuka. Semua lampu sudah menyala, yang artinya Ramka sudah pulang dari rumah sakit. Ibunya pasti hanya pulang untuk melihat kondisi Adana saja tanpa istirahat yang cukup, terlebih Ramka besok harus masuk sekolah dan tidak bisa menginap di rumah sakit.

   Setelah mobil masuk ke garasi, Fisa mendorong gerbang yang cukup berat itu hingga tertutup. Saat itu pula, ia tak sengaja mendapati Ramka yang tengah memandanginya dari balik jendela kamar. Saat Fisa tersenyum, gorden jendela ditutup Ramka lebih dulu. Senyuman Fisa melemah seketika.

     Saat ini, Fisa tak punya pilihan lain. Ia hanya bisa menerima perlakuan adiknya yang sedang marah dengan lapang dada. Ia pun mengunci gerbang dan lekas masuk ke rumah.

  Pintu kamar Ramka tertutup rapat. Padahal biasanya meski sudah tertidur pun pintu kamarnya selalu terbuka. Fisa tak akan mengganggu dulu. Ia langsung mengecek kamar Adana. Perempuan itu terlihat tidur dengan lelap.

    Fisa berjalan menuju kamarnya dan membaringkan tubuh sambil melihat langit-langit kamar. Pundaknya terasa ringan ketika berbaring. Entah sampai kapan situasi ini akan membaik untuknya.

***

Lusa aku harus ke Amerika, kira-kira mau video call-an dulu, gak?

Pesan dari Bungi membuat Fisa tersenyum. Ia bahkan tak sempat membalas pesannya waktu itu. Perempuan yang dikenalnya dari media sosial itu tak lelah mengiriminya pesan meski sedang sibuk. Setidaknya, Fisa masih punya seorang teman, meski belum pernah bertemu hingga saat ini.

Beberapa detik kemudian percakapan itu pun berlangsung.

“Kapan kamu berangkat? Bukannya masih seminggu lagi?” tanya Fisa pada gadis yang ada di layar ponselnya.

“Emh, iya sih. Tapi aku butuh refreshing,” ujar Bungi yang tengah makan kentang goreng di seberang sana. Fisa yang tengah memotong beberapa sayuran dari kulkas hanya mengangguk pelan.

“Oh ya, gimana Kak Adana? Kira-kira kapan aku ke sana?” tanya Bungi kemudian. Fisa yang memegang pisau terhenti seketika. Ia langsung beralih pada layar ponselnya yang bersandar di dinding kitchen set.

Fisa yang tak jauh dari benda itu langsung membungkuk dan memasang wajah serius sambil melihat ke kiri dan kanan. Waspada jika orang yang dibicarakan muncul di belakangnya.

“Duh, jangan ngobrolin itu dulu kalau aku lagi di rumah,” Fisa berkata dengan pelan. Gadis di depan wajahnya berhenti makan.

“Mau nunggu sampai kapan, Fis? Mumpung belum terlalu jauh gejalanya. Ini tentang psikis, lho!”

“Bungi, sebelum aku kenal kamu pun, Kak Adana tuh gak mau ketemu orang lain!” Fisa terlihat kesal sendiri. Suara pintu yang tertutup keras membuat Fisa tersentak.

“Kututup dulu,” Fisa langsung memutuskan sambungan. Fisa sempat melihat respon Bungi yang kecewa dengan bentuk bibir aneh.

Fisa melihat Ramka yang berjalan menuju dapur dengan tas gendongnya. Lelaki itu membuka kulkas dan mengambil sebuah apel dan air mineral lalu berjalan kembali.

“Ramka, sarapan dulu, jangan minum air es pagi-pagi,” ucap Fisa yang meneruskan kembali kegiatan memotong sayuran.

“Gak perlu, aku langsung berangkat aja.”

“Nanti kamu sakit perut! Kakak juga sebentar lagi selesai masak,” nada suara Fisa mulai meninggi.

“Gak usah. Masakan Kakak gak enak. Laptop Kakak aku balikin tuh,” Ramka langsung berjalan ke arah pintu keluar. Fisa membeku. Diam beberapa saat.

Suara nyaring dari cerek membuat tangannya bergerak untuk mematikan kompor. Air panas itu perlahan dituangkan ke termos.

“Ah!” Fisa mengaduh saat tetesan air terakhir mengenai sebelah tangannya. Ia segera menyalakan keran dan menyimpan tangannya yang memerah di bawah air mengalir. Dadanya terasa sesak, perkataan Ramka terus berputar di hatinya.

Tak lama, ia berjalan ke kamar Adana. Perempuan itu terlihat masih tidur. Selalu begitu. Fisa memang tak sering bertatap muka dengan kakak perempuannya.

Saat Fisa akan berangkat kerja gadis itu belum bangun, sementara saat pulang terkadang dia sudah tidur. Adana memang sering menyendiri dan tak banyak bicara.

Fisa jadi ingat perkataan Bungi. Perkenalan di antara mereka memang berawal atas dasar kebutuhannya yang ingin berkonsultasi dengan seorang psikiater. Akan tetapi, Fisa belum siap untuk mempertemukan keduanya.

***

Sebelum ke kantor ia mengunjungi sebuah tempat. Pemikirannya semalam sudah bulat. Kakinya turun dengan perlahan dari mobil. Ia mulai mencari seseorang sambil berjalan dengan melihat ke kiri dan kanan. Kacamata yang sama seperti kemarin bertengger beberapa senti di atas keningnya.

“Bang, yang kemaren jualan accessories kemana, ya? Kok gak ada?” tanya Fisa pada tukang mie ayam yang tempo hari sempat bertemu dengannya.

“Oh, cari si Darma? Dia kayaknya belum datang, Neng,” jawabnya. 

Fisa melihat jam di tangannya. Sudah hampir setengah delapan. Ia tak punya banyak waktu. Sebaiknya ia menemui Darma setelah pulang kerja saja.

  Fisa pun tak bisa menunggu dan langsung berjalan. Akan tetapi, beberapa meter sebelum sampai ke mobil, Fisa berpapasan dengan seorang lelaki yang membawa tas besar. Lelaki itu terus berjalan sementara Fisa berhenti dan menyadari sesuatu.

Fisa berbalik badan hingga punggung orang itu terlihat jelas. Punggung yang berjalan menjauh darinya.

“Darma!” teriak Fisa memberanikan diri.

Orang itu berhenti. Ia yang dipanggil berbalik badan. Saking kerasnya, suara itu bahkan mampu mengambil perhatian orang-orang yang ada di sekeliling.

Fisa tak peduli ketika banyak orang yang memerhatikan. Ia berjalan cepat ke arah Darma. Orang-orang itu pun kembali pada urusannya masing-masing.

“Saya Adifisa. Bagian HRD. Di tempat saya lagi ada lowongan untuk satu orang Office Boy. Kalau minat, datang aja untuk melamar,” ucap Fisa dengan cepat seraya mengeluarkan kartu nama setelah berhadapan dengan Darma. Lelaki yang menerima kartu namanya mengangkat alis.

“Melamar siapa maksudnya? Saya nggak berniat menikahi kamu,” jawab lelaki itu. Fisa tercengang. Mulutnya terbuka. Dia bercanda? Pikir Fisa.

 “Kamu jangan main-main, ya. Saya bahkan udah berniat baik.”

 “Bukan gitu, tapi kalimat yang saya dengar jadi berubah makna kalau diucapkan cepat kayak tadi. Saya bahkan gak kenal kamu. Siapa, ya?”

   “Saya kan udah bilang barusan,” Fisa sedikit geregetan.

    “Tapi saya gak kenal.”P

Perkataan itu sungguh membuat Fisa kesal. Padahal ia sudah berbaik hati menawarkan pekerjaan. Haruskah ia menyesal?

Diturunkannya kacamata berwarna cokelat itu hingga menutupi sepasang mata miliknya.

“Masih ingat wajah yang kemarin?”

Lelaki itu menatap dengan seksama sambil berpikir keras.

“Ah, iya. Mbak yang punya banyak hutang, kan?”

***

“Hish! Orang itu kenapa, sih? Masih aja bahas hutang!” keluh Fisa saat memasuki ruangan kerja. Ia masih dongkol dengan sikap pedagang aksesori itu. Tubuhnya bersandar di punggung kursi.

“Tapi kira-kira dia mau gak, ya?” pikirnya yang langsung berdiri sambil berjalan ke arah dinding kaca. Ia berharap lelaki itu menerimanya. Bukan soal tugas yang harus selesai dalam menemukan seorang pegawai baru, tapi Fisa berharap bisa memberi harapan yang lebih baik pada orang-orang yang sedang mengadu nasib seperti Darma.

Kenapa jadi aku sih yang harap-harap cemas? Padahal kan sebenarnya bukan hanya aku yang sepenuhnya butuh. Meski tawaran posisi ini hanya sebagai OB, tapi semoga dia mengerti bahwa posisi itu pun memiliki peran penting untuk setiap perusahaan. Tentunya demi kebersihan dan kenyamanan semua karyawan. Pikirnya.

Fisa pun duduk kembali dan mulai mengerjakan tugasnya. Sebuah keputusan tentunya akan tetap berada di tangan Darma. Fisa hanya perlu menunggu kepastian.

Saat jam makan siang, Fisa beranjak dari kursinya dan keluar dari ruangan. Ia menuju toilet dan tak sengaja berpapasan dengan Sadina. Fisa berjalan dengan cueknya.

“Gimana? Udah dapet calon pegawainya?”

Fisa berhenti mendengar pertanyaan itu.

“Buat seorang Adifisa pasti mudah sih untuk sekedar merekrut satu orang aja. Iya kan, Fis?” Sadina tersenyum palsu.

  Fisa berjalan mendekat ke arah Sadina sambil menyilangkan kedua tangannya. Ia ingin tahu apa lagi yang akan keluar dari mulut perempuan itu. Fisa menatapnya dengan sorotan menantang.

   “Tapi sih kalau cuma sekedar OB pasti gampang, yang susah itu cari OB yang loyal, dan tentunya yang bisa sabar kalau ketemu gue,” sindir Sadina.

    “Hmh, saya gak yakin sih dapat OB yang loyal setelah kejadian resign masal kemarin. Tapi saya sangat yakin mendapat pegawai yang bisa menghadapi Ibu dengan baik. Saya sendiri yang akan mewawancarainya. Jadi jangan khawatir, Ibu pasti dapat lawan yang tepat kok,” Fisa memegang bahu Sadina dengan berani seraya tersenyum.

  Sadina tertawa meledek sambil menjauhkan tangan Adifisa. Sebenarnya Fisa tak ingin memulai perdebatan, tapi ternyata Sadina butuh diladeni sejenak.

   “Kayaknya lo nyaman banget ya jadi manager HRD?”

  “Nggak juga, bahkan di ruangan saya AC-nya mati. Ibu Sadina mungkin menikmati pekerjaannya tanpa perlu merasa gerah, kan?”

 “Nggak juga. Rasanya gue gak nyaman buat mikirin strategi pemasaran dibanding ngatur keuangan. Tapi yang lebih gak nyaman itu lihat lo yang tiap hari sok jadi pegawai baik setelah membuat karier orang lain hancur!” jawab Sadina.

Fisa mengalihkan pandangan. Ia paling malas membahas persoalan itu. Perdebatan panjang akan membuat emosinya tersulut.

“Kamu belum ngerti juga ya? Bukannya itu kesalahan kamu sendiri? Dan aku ada di posisi ini pun karena kesalahanku sendiri, so... ga ada salahnya untuk sama-sama mengakui,” Fisa mulai jemu hingga menghilangkan panggilan honorifiknya pada Sadina.

“Hidup lo pasti lagi susah, kan? Makanya lo berani untuk tetap di sini meski turun jabatan,” Sadina tersenyum kecut dan mengabaikan kalimat Fisa. Ucapan itu membuat Fisa terdiam sejenak.

“Sadina ...,” ucap Fisa. Perempuan itu menatap Fisa dengan malas.

 “Aku harap kamu bisa belajar hal lain dibanding gambar alis yang semeter atau moles lipstik yang di luar batas bibir. Kali-kali jangan saingan sama badut. Lebih baik bibir kamu ikut pendidikan juga,” ujar Fisa yang langsung melangkah. Sadina yang ditinggalkan hanya bisa memendam amarah saat Fisa berlalu dari hadapannya.

Lihat selengkapnya