Fisa terburu-buru memasuki ruangan. Pagi ini adalah hari ketiga Darma bekerja. Ia lalu menyuruh Fajar ke ruangannya. Obrolan dua orang itu pun menghabiskan waktu sekitar lima belas menit untuk dapat menghasilkan sebuah kesimpulan.
Saat jam istirahat Fisa diam-diam mengintip ke bagian pantry. Ia ingin memastikan untuk yang terakhir kalinya agar keputusan yang diambil benar-benar tepat. Selain itu pula, Fisa ingin memintanya untuk dibuatkan kopi dingin.
Fisa mengintip dari balik dinding. Beberapa orang tampak menyuruhnya berbagai macam hal. Ia membuat kopi dan teh lalu membiarkan office boy lain mengantarnya.
Lelaki itu kemudian meraih satu cup mie instan yang mengepul. Ia duduk lalu mengaduknya. Saat garpu yang tergulung mie itu hampir masuk ke mulutnya, seseorang memanggil hingga membuatnya langsung berdiri dan berjalan keluar ruangan.
“Dia ternyata sibuk banget. Sebaiknya aku gak perlu nambah kesibukannya,” gumam Fisa sambil melihat mie instan Darma yang dibiarkan mengembang. Fisa jadi sedikit prihatin padanya. Ia pun memutuskan pergi dari tempat itu.
Fisa berjalan ke ruangannya. Saat membuka pintu pikirannya masih digentayangi perasaan aneh saat mengingat Darma. Sebelah tangannya yang hendak menutup pintu, tiba-tiba tertahan tangan lain di tepian pintu. Fisa terbelalak melihat sosok di balik pintu.
“Boleh saya masuk?” tanya Darma dengan wajah yang tak bisa ditebak. Fisa tak menjawab namun melepaskan tangannya dari handle pintu hingga Darma bisa membukanya lebih lebar.
“Ibu udah makan?”
Pertanyaan Darma membuat Fisa menarik napas dalam-dalam. Rasanya begitu canggung. Seolah pertanyaan itu merajuk pada perhatian layaknya seorang kekasih. Fisa menepis pemikiran itu dan menganggapnya sebagai pertanyaan biasa.
Fisa membuka kotak kecil yang tersimpan di ujung meja. Empat buah telur asin terlihat jelas di dalamnya. Darma berusaha melihatnya dengan seksama.
“Saya bawa telur asin kok,” ucap Fisa.
“Terus minumnya? Ibu belum menyuruh saya apapun selama tiga hari ini.”
“Kalau gitu saya ingin menyuruh kamu sesuatu,” Fisa memandang lurus ke arah lelaki di depannya sambil berdiri.
“Saya ingin suruh kamu tetap bekerja besok,” Fisa tersenyum.
Darma mengembangkan bibirnya. Ia tampak tak percaya dengan ucapan Fisa. Ia tersenyum lebar.
“Yeaahh!!” teriak Darma seketika. Hal itu membuat jantung Fisa berguncang seketika hingga tubuhnya terjerembab ke kursi.
“Maaf, Bu. Suara teriakan saya volumenya memang keras.”
“Semua orang yang teriak pasti keras, apalagi di dalam ruangan. Kamu pikir telinga saya punya gendang telinga cadangan?”
“Sekali lagi maaf, Bu. Saya terlalu senang. Saya pikir setelah tiga hari, saya langsung diberhentikan,” ucap Darma dengan wajah sedih.
“Udahlah. Kamu belum makan juga, kan? Ini ambil. Kita makan di sini aja,” kata Fisa yang langsung memberikan dua telur asin. Darma menerima dua telur itu dengan bingung. Ia lalu tersenyum saat melihat Fisa yang berusaha membuka kulit telur dengan membenturkannya ke sisi meja. Wajah itu terlihat senang.
“Aah, sampai kapan aku makan telur asin? Suatu hari nanti aku ingin makan yang manis-manis biar hidupku juga ikut manis,” keluh Fisa dengan suara pelan. Suara yang tak menginginkan siapapun menjawabnya. Darma hanya terdiam.
***
Saat mentari bersinar begitu terang, perempuan yang tengah memakai blazer abu-abu tampak menatap langit dari atas gedung. Di bagian teratas kantor itu Fisa tengah melamunkan sesuatu. Kedua tangannya bersedekap di tepian dinding pembatas. Tempat yang pernah ada dalam mimpinya.
Masa-masa saat berbincang dengan ayahnya pun muncul tiba-tiba. Saat itu keduanya duduk berdekatan di taman. Ayahnya pernah menjanjikan sebuah sepatu cantik jika Fisa menikah nanti.
“Kalau suatu hari peran ayah terganti oleh suamimu, maka dia harus bisa melindungi hati kecil hingga hati besarmu. Biarkan dia ikut mendengar suara hati kecilmu. Biarkan dia melihat kebesaran hatimu. Berikan semua wawasan yang kamu miliki pada anak-anakmu kelak. Dan jangan lupa kirimi ayah cerita-cerita bahagia keluarga barumu.”
Kalimat-kalimat itu terus terngiang. Kerinduannya tak bisa dibendung lebih lama lagi. Ia merasa tak bisa berbuat banyak saat ayahnya terbaring lemah di depan matanya. Setelah jam kerja usai, ia akan menjenguknya ke rumah sakit.
Fisa berputar badan dan berjalan menuju tangga yang langsung terhubung ke lift. Dalam beberapa detik pintu lift telah mengantarnya ke lantai tiga. Ia berjalan lurus lalu berbelok ke sebuah lorong. Laju kakinya terhenti saat dari kejauhan melihat Sadina yang sedang berbicara pada seseorang di ujung lorong. Fisa yang penasaran segera mendekat dengan langkah tak bersuara.
“Saya cuma suruh kamu masukin mobil saya yang ada di depan kantor ke basement terus cuci mobilnya. Kenapa kamu gak mau?! Saya dengar dari Riko kalau kamu bisa nyetir!” Sadina terlihat berang.
“Bukan gak mau, tapi saya memang gak bisa.”
“Darma, kamu masih baru kan di sini? Kamu tahu posisi kamu di sini sebagai apa dan siapa sebenarnya saya?”
“Untuk alasan itulah saya menolak, karena saya seorang OB. Bukan petugas valet atau pun supir Ibu. Saya melayani semua karyawan secara umum, bukan menerima keinginan khusus yang seperti itu.”
Sadina terkekeh. Baru kali ini ada seorang OB yang berani menentangnya. Bahkan, setelah ia turun dari mobil dan mengejarnya ke dalam kantor dari gerbang depan.