Telur Manis

Vina E. Silviana
Chapter #6

Bab 6

Fisa sudah menemukan kunci mobilnya yang ternyata tersimpan di meja rias kamar Adana. Ia bahkan tak ingat kapan ia melakukannya. Mungkin ia pernah menyimpannya saat mengecek kondisi Adana malam itu.

           Fisa berpapasan dengan Darma di koridor. Ia tersenyum dengan sopan. Fisa membalas senyumannya. Jika mengingat kejadian kemarin rasanya Fisa benar-benar malu. Ia bahkan secara spontan menjadikannya teman curhat dalam beberapa saat saja.

           Saat memasuki lift, mata Fisa bertemu pandang dengan seorang perempuan yang berdiri di dalamnya. Fisa sebenarnya tak suka satu lift dengan Sadina, tapi ia pun tak bisa menghindarinya begitu saja.

           “Selain cerdas pilih karyawan tampan, ternyata lo cerdas pilih karyawan yang pandai melawan,” nada sarkastis meluncur dari mulut Sadina.

           Fisa memutar bola mata. Tak ada hari yang nyaman baginya jika bertemu dengan Sadina. Fisa malas menanggapi pembicaraan yang nantinya akan meninggalkan rasa sesak di hati. Ia akan membiarkan Sadina bicara sendiri. Tak mau merespon sekalipun mulut Sadina berbusa.

           Tak lama pintu lift pun terbuka. Sadina ternyata tak lagi berkata-kata setelah kalimat pertamanya. Fisa merasa sedikit aneh, tapi baginya itu lebih baik daripada berdebat.

           Fisa berjalan memasuki ruangannya lalu duduk menghadap komputer. Ia melihat berkas-berkas di meja. Rasanya ia kesulitan bekerja sendiri. Entah sampai kapan ia harus menjalani semua ini.

           Ia langsung berjalan ke dinding kaca yang lebar. Tak ada hal yang ia tunggu selain orang yang menghiburnya kemarin. Entah kenapa, ia merasa begitu ingin melihatnya setiap hari. Lelaki itu terlihat unik. Sepertinya Fisa harus bicara dengan seseorang untuk memastikan perasaan apa yang terjadi padanya saat ini.

***

           Ramka memasuki rumah dan melihat Fisa yang terduduk di lantai. Ia memicingkan mata. Dilihatnya setiap sofa yang kosong.

Kakaknya dilewati dengan cepat. Tangan Ramka kemudian membuka pintu kamar Adana. Sosok perempuan itu tengah duduk di ranjang dan melihat ke arahnya. Ramka lekas menutup pintu. Tak ada yang aneh. Semua seperti biasanya.

“Kakak ngapain duduk di lantai? Nanti kentut lho!” ujar Ramka.

Fisa masih diam. Ramka yang menyimpan tas gendong di sofa mulai merasa cemas. Ia segera membantu kakaknya berdiri agar tak kedinginan ataupun masuk angin.

“Kakak kenapa? Dipecat?” tebak lelaki berseragam SMA itu dengan badan condong ke arah perempuan yang telah duduk di dekatnya.

“Kamu berharap kakak dipecat? Emangnya kamu mau makan tanah seandainya kakak gak kerja?” balas Fisa dengan serangan mata tajamnya.

 Kedua tangan Ramka bertepuk hingga bunyinya membuat Fisa tersentak.

“Itu baru Kak Fisa yang asli! Yang tadi aku gak kenal. Lagian Kakak kenapa duduk di lantai? Kan kursi pada nganggur!”

Fisa menghela napas dan memegang keningnya. Kebingungan mulai muncul dalam benaknya. Benarkah ia harus mengajak Ramka bicara mengenai sesuatu hal yang sensitif? Sesuatu yang memang harus dipastikan sendiri.

“Orang yang jatuh cinta selalu menjadi bodoh. Untuk itulah, orang-orang normal dibutuhkan setiap waktu,” ujar Fisa. Ramka mengangkat sebelah alisnya.

“Kakak mau nikah sama siapa, sih? Sampai-sampai bingung buat memulai pembicaraan sama adik sendiri,” tanya Ramka.

“Kakak gak bermaksud ngomongin itu sih ... tapi Kakak ....”

“Ah, udahlah. To the point aja! Orangnya yang mana? Biar Ramka lihat wajahnya sebagus apa, kantongnya setebal mantan Kakak atau nggak, dan seberapa banyak cinta yang dia punya buat Kakak, seberapa besar hatinya menerima Ramka sebagai adik ipar yang akan menyaingi ketampanannya,” potong Ramka.

Fisa menggosok-gosok wajahnya mendengar semua ocehan Ramka. Rasanya ia menyesal memulai pembicaraan yang bahkan sebenarnya terasa canggung untuk dirinya sendiri. Fisa berdiri dan langsung berjalan ke kamarnya.

Ramka yang mengikutinya tak sempat ikut masuk ke kamar Fisa karena pintu ditutup dengan keras. Bahkan hampir menyambar wajahnya.

“Kakak mau tidur!” seru Fisa.

Ramka yang berada di depan pintu tak bisa berbuat apa-apa. Ia pun langsung pergi ke kamarnya sambil berdesis.

           Setelah lima jam berguling-guling di kasur akhirnya Fisa mencari kontak Bungi dan segera menghubunginya melalui video call. Bungi pasti bisa menjabarkan semua ini.

           “Ini waktunya tidur, kenapa malah telpon sih?” protes Bungi.

           “Bungi. Aku udah lama gak menyukai lawan jenis, jadi ....”

“Terus kamu suka sama aku? Aku juga suka kok sama kamu,” Bungi memotong.

“Aduh, Bungi! Aku gak bercanda! Kayaknya aku mulai mikirin cowok deh sekarang. Kira-kira sebaiknya aku lebih mendekat atau menghindar, ya?”

“Udahlah. Jangan melakukan keduanya. Biarkan aja dia yang melakukannya. Kalau dia mendekat artinya mungkin dia suka sama kamu juga. Tapi kalau dia menjauh mungkin dia merasa kalau kalian cocok untuk nggak saling memiliki,” tutur Bungi.

“Ah bahasamu itu berat kayak dia! Lately, aku juga jadi sering ikut-ikutan nih!”

“Lagian ini tuh udah jam satu malam. Kamu tuh kayak nyamuk deh yang ganggu jam tidur aku!” keluh Bungi yang berada di antara sadar dan tidak. Fisa melihat jelas Bungi sedang berada di balik selimut. Matanya bahkan setengah tertutup.

“Memangnya sekarang obat nyamuk yang melingkar dan elektrik berapa?” tanya Fisa setengah kesal. Bungi pun menjawab dengan harga satuan dan eceran. Lagi.

Fisa pun tak tanggung-tanggung untuk langsung memutus sambungan. Kepalanya kemudian bersembunyi di balik bantal. Lama-lama ia bisa gila jika begini terus.

***

Fisa yang sudah selesai memasak berjalan ke pintu kamar Ramka. Sekilas ia melihat laptop yang ada di atas meja ruang tamu.

“Wah, aku lupa nyimpan barang itu di situ dari pas pulang kerja kemarin,” ucap Fisa yang langsung mengambil benda itu dalam dekapannya. Ia lalu berjalan ke pintu kamar Ramka. Ia mengetuk pintu dengan sebelah tangannya yang bebas.

Semalam urusan mereka belum selesai, tapi Fisa tak akan membahasnya lagi. Ia hanya ingin mengajak sarapan pagi. Tak ada jawaban dari dalam. Fisa lalu membuka pintu kamar. Kosong. Seragamnya pun tak ada. Ramka sepertinya sudah berangkat.

***

Fisa berjalan masuk ke dalam kantor. Seperti biasanya, ia tersenyum ketika berpapasan dengan Darma. Sejak kedatangan orang itu, Fisa merasa benar-benar menjadi karyawan. Setidaknya ada orang yang bisa bertukar senyum hingga bertegur sapa dengannya.

Fisa yang masuk ke ruangan, mulai membuka laptop untuk mengecek beberapa data lama untuk diperbarui. Fisa membuka mata lebar-lebar saat menemukan selembar kertas di atas papan ketik laptopnya. Sesuatu yang mungkin tertutup sejak tadi pagi.

Tips cari cowok idaman : Jangan makan telur asin terlalu sering, nanti jadi bebek. Jangan berdandan formal terlalu sering, sekali-kali pakai baju wanita. Jangan terlalu galak, nanti anjing galak nggak laku. Dan ... jangan terlalu mencari seseorang yang sempurna, carilah dia yang selalu melihatmu sebagai kebahagiaannya. Terima dia yang membuatmu mengerti kenapa kamu berbahagia jika bersamanya. Karena sama-sama bahagia akan membuat semua orang ikut bahagia.

Ada gemuruh yang melaju di hatinya. Tulisan-tulisan tangan itu membuat ia tak mampu bicara. Kasih sayang utuh terukir indah dalam selembar kertas yang mengharukan. Ramka memang punya cara sendiri untuk mengutarakan kritik, saran, hingga cintanya pada siapapun. Fisa merasa bahagia memiliki Ramka dalam hidupnya.

***

           Hari silih berganti. Pertemuan Fisa dengan Darma semakin lama semakin jarang. Bisa dikatakan bahwa pertemuan di luar jam kerja hanyalah saat Fisa diantar ke rumah sakit saat itu. Setiap kali Fisa hendak melihatnya dari dekat, Darma selalu sibuk.

           Fisa tak menutup mata bahwa memang banyak orang yang menyukai Darma. Selain berwajah tampan, ia pun supel dan ramah. Kinerjanya pun bagus. Semua orang yang membutuhkan bantuan selalu berlari padanya. Sadina bahkan tak punya nyali lagi untuk melakukan tindakan tak wajar padanya.

           Sungguh, Fisa merasa sifat Darma berbanding terbalik dengannya. Introvert, kaku, keras kepala, arrogant adalah sifat milik seorang Adifisa. Dia baru sadar bahwa pekerjaannya selama ini hanya dijadikan sebagai tombak penghasilan, bukan ladang pergaulan atau bahkan tempat menikmati hidup. Ia sungguh telah kehilangan banyak hal.

           Saat jam pulang tiba, Fisa langsung menuju pantry. Berharap Darma masih ada di sana. Akan tetapi menurut OB lainnya Darma sudah pergi lebih dulu.

Fisa pun berjalan menunduk. Wajahnya murung. Padahal hari ini ia sengaja tak bawa mobil agar bisa pulang bersama Darma.

Lihat selengkapnya