Fisa mengendarai mobil menuju kantor. Pikirannya berkecamuk mengenai kejadian semalam. Bagaimana bisa ia tertidur saat Darma baru saja memulai untuk bercerita tentang kehidupan pribadi? Fisa benar-benar bodoh.
Rasanya tak patut jika orang yang selalu mendengar keluh kesahnya itu bercerita tapi malah disambut kesunyian karena tertidur. Seharusnya Darma membangunkannya. Fisa bahkan tak tahu bagaimana caranya bisa tiba-tiba berada di rumah. Darma pasti telah direpotkan olehnya.
Ramka mengatakan bahwa semalam menemukan dirinya yang tertidur di kursi depan pintu rumah setelah bunyi ketukan di pintu. Ramka bahkan tak melihat sosok Darma saat itu. Apa Darma menggendongnya sampai rumah?
Fisa menambah kecepatan mobil. Ia harus segera bertemu dengan Darma. Setidaknya ia harus berterima kasih karena mengantarnya pulang.
Kali ini Fisa mengerti dengan hatinya. Ia tak bisa mengelak jika dia memang sudah jatuh hati pada lelaki itu. Tak peduli apapun, Darma adalah kebahagiaannya.
Saat masuk pintu utama, ia tak menemukan sosok yang terbiasa berpapasan dengannya. Ia lalu bergerak cepat menuju pantry sebelum ke ruangannya. Belum sampai ke pantry, Sadina sudah memanggilnya.
“Pagi ini kita akan rapat ulang tahun perusahaan. Bokap gue ngasih kesempatan buat kita perbaiki kesalahan,” ucap Sadina dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
“Seandainya kali ini kita sukses, jabatan kita bisa kembali lagi. Itu janjinya,” kata Sadina. Fisa berpikir beberapa saat.
“Seseorang bilang kalau semua pekerjaan sebenarnya punya risiko tersendiri. Begitupun dengan kebahagiaannya. Tergantung kita mau menjadikannya beban atau tantangan. Tinggal lihat seberani apa kita menghadapinya,” Fisa mengucapkan kata-kata Darma semalam. Sadina bahkan sempat tertegun mendengarnya.
“Mungkin lo udah temuin hal yang nyaman di posisi sekarang. Tapi lo tetap gak bisa menghindar dari tugas, Fis. Dia lebih senang semua karyawannya terlibat. Saling bekerja sama dan kompak. Rapatnya sebentar lagi mulai. Saking antusias, bokap datang pagi. Jangan buang waktu!” Sadina langsung berjalan meninggalkan Fisa.
“Ah, beban ini muncul lagi. Sampai kapan aku diteror rasa cemas? Bisa-bisa aku ikut konsultasi juga sama Bungi!” keluh Fisa yang langsung berjalan ke ruangannya.
Beberapa berkas di laptop segera di-print. Ia butuh beberapa data yang digunakannya tahun lalu sebagai bahan referensi. Padahal hari ini Fisa sudah berdandan lebih feminin. Rambutnya bahkan terurai dengan begitu rapi. Hari ini Fisa juga membentuk poni yang cocok dengan wajahnya.
Ia ingin bertemu Darma, tapi pekerjaan pun adalah bagian dari kewajiban. Biasanya rapat akan berjalan cukup lama jika mengenai acara besar. Fisa tak boleh keberatan, semua ini haruslah jadi tantangan, bukan beban. Semangatnya tiba-tiba muncul saat kata-kata Darma terus mengalir di otaknya.
Ia pun segera mengikuti rapat bersama beberapa orang lainnya. Fisa harus membuktikan bahwa kali ini ia tak akan berbuat kesalahan. Sebisa mungkin jabatannya saat ini harus memberikan image baik bagi semua orang.
Fisa ditunjuk untuk mengatur seluruh acara bersama Sadina. Perkataan perempuan itu ternyata memang benar. Keduanya berpandangan dengan sengit. Fisa sendiri harus banyak menahan diri menghadapi Sadina agar semua berjalan lancar.
Rapat selesai. Fisa segera beranjak dari kursinya. Sadina berjalan mendekat dan menekan bahu Fisa dengan kuat hingga gadis itu terduduk lagi.
“Gue harus kembali jadi direktur keuangan. Lo harus mau kerjasama sama gue demi jabatan lo kembali juga.”
“Minta tolong atau ngancam?” Fisa berdiri kembali dan menatap Sadina dengan berani. Dua pasang mata itu terlihat berapi-api.
“Keduanya,” jawab Sadina.
“Oke. Tapi ada syaratnya,” ucap Fisa. Dahi Sadina berkerut.
“Harus profesional, saling mendengar pendapat dan mengambil keputusan secara bersama,” terang Fisa.
Sadina tampak tak suka. Ia berpikir beberapa saat. Ia yang terbiasa mengambil keputusan sendiri harus mau berbagi peran dengannya.
“Oke, gue terima. Asal lo jangan suka aneh-aneh kalau ngasih saran!” Sadina menerima kesepakatan.
“Dan satu lagi ... Jangan panggil ‘lo’ saat kita bicara masalah pekerjaan,” Fisa mengambil berkas-berkas di meja dan langsung meninggalkan Sadina dari ruang rapat.