Sebulan berlalu. Ulang tahun perusahaan semakin dekat. Fisa tengah sibuk berdiskusi dengan Sadina. Keduanya sedang berdiri di dekat pintu utama yang terbuat dari kaca yang begitu lebar dan tinggi.
Mereka sedang membicarakan dekorasi bagian dalam kantor. Sadina menunjuk setiap bagian yang menurutnya harus diberi sentuhan bunga agar tampak lebih alami.
“Tapi kayaknya kita harus pakai dedaunan buatan karena kelihatannya lebih mudah diatur dan nggak rusak kalau nanti dililit di bagian tiang. Kita minta Dian untuk mengubah bagian ini juga, ya?” ucap Fisa sambil menunjuk gambar interior tiang penyangga yang berhiaskan pagar usang.
Dian, orang yang bertugas mengatur dekorasi memerhatikan dengan seksama.
“Terlalu kuno, ya? Apa gak sebaiknya kita ganti tema aja? Kok rasanya pusing dengan dekorasi taman yang kayak begini?”
“Boleh, tapi ulang semuanya dari awal sendirian!” ucap Fisa dengan nada sarkastis. Sadina tersenyum kecut.
“Tapi Pak Fredy ingin kita pakai suasana alam,” kata Sadina dengan pelan. Fisa tersenyum. Sadina benar-benar seperti seorang karyawan saat ini, bukan lagi anak seorang pimpinan yang selalu memanggil Pak Fredy dengan sebutan bokap.
“Gimana kalau taman yang bagian ini kita bangun miniatur air mancur? Biar lebih segar. Bahkan kalau ada ikan hias pun tampak lebih cantik,” Sadina mengusulkan.
Fisa mengangguk setuju. Dian yang mengerti dengan berbagai perubahan yang diminta pun segera undur diri untuk merevisinya. Sadina melihat Fisa dengan heran.
“Bukannya waktu itu sedikit keberatan ya dilibatin lagi? Tapi kayaknya sekarang jadi orang yang paling semangat,” sindir Sadina. Fisa tersenyum tipis tanpa menjawab.
“Kelihatan jelas kalau acara ini dibuat sebagai pikiran utama dari otak kamu. Sesuatu yang mungkin bisa menutupi pikiran lain yang memberatkan kamu. Bisa jadi itu hal yang menyakiti kamu,” papar Sadina yang berjalan meninggalkan Fisa.
“Kamu masih hafal sifatku,” gumam Fisa sambil tetap berdiri melihat pintu kaca. Tempat dimana seseorang pernah menunggunya pulang. Sosok yang membuatnya merasakan cinta yang menyakitkan. Cinta yang membuatnya selalu bertanya kapan ia datang dan kembali. Apa ia harus berhenti atau tetap bertahan? Fisa tak pernah menemukan jawaban.
***
Ramka melangkah masuk ke dalam rumah. Dilihatnya Fisa yang sedang tiduran di sofa sambil membaca beberapa berkas. Akhir-akhir ini kakaknya memang sering pulang tepat waktu.
“Tumben sekarang pulangnya jarang malam, Kak? Bukannya menyambut acara besar perusahaan biasanya sibuk, ya? Gak lembur?” tanya Ramka yang berjalan ke dapur.
“Iya lagi sibuk banget nih. Kakak kan ngurusinnya sepanjang hari. Termasuk pas jam makan siang. Jadi bisa pulang sore. Sekarang juga masih kerja nih di rumah. Biar cepat selesai,” jawab Fisa yang belum berganti pakaian sejak pulang kerja.
“Oh, jadi Kakak sekarang betul-betul mengabdi ya di sana?” Ramka kemudian membuka kulkas dan menemukan sesuatu di freezer saat akan mengambil es krim.
“Kurang lebih,” singkat Fisa.
“Ini apaan sih, Kak? Udah sebulan juga masih aja di freezer. Mana tinggal satu lagi. Waktu itu juga aku gak dibagi,” Ramka langsung mengeluarkan kotak berisi jelly milik Fisa.
Sebuah tangan tiba-tiba merebut dan memasukkannya kembali ke dalam freezer. Ramka bahkan tak mengira kalau Kakak perempuannya itu bisa bergerak begitu cepat hingga dalam sekejap berada di dekatnya.
“Itu ... telur manis. Simpan aja. Kakak belum tahu nanti bisa makan lagi makanan itu atau enggak. Jadi jangan diganggu gugat,” ucap Fisa yang langsung pergi ke kamarnya. Ramka tak bisa mengatakan apa-apa demi menjaga perasaan kakaknya yang murung sejak kedatangan telur manis itu.
Fisa menutup pintu kamar. Rasa sakit hatinya masih terasa sampai hari ini. Entah apa yang harus ia lakukan. Ingatan tentang Darma terlalu menyiksanya.
Ia lalu mencari kontak seseorang. Nomornya masih dijawab oleh operator. Gadis psikiater itu sudah cukup lama tak bisa dihubungi. Bahkan di saat ia kehilangan Darma, perempuan itu pun tak juga mengangkat teleponnya.
Janji Bungi untuk menemui Adana sudah lama dilanggar. Hari silih berganti tapi tak ada satupun hal yang mampu menjelaskan kenapa Bungi tak mampu memberi kabar. Fisa benar-benar kesepian.
***
Seminggu berlalu. Fisa duduk di kursinya. Bersandar sambil melihat AC yang sedang berhembus mengisi seluruh ruangan. Alasan Darma tak pernah luput dari benaknya mungkin karena semua hal tentangnya selalu dekat dengannya.
“Jam segini nontonin AC, gak ada kerjaan?” seseorang masuk ke ruangannya. Fisa buru-buru melihat berkas di mejanya. Sadina masuk tanpa mengetuk.
Perempuan itu membawa sekantong plastik berisi dua kotak nasi goreng. Ia duduk dan memberikan satu kotak untuk Fisa.
“Kenapa sih sekarang setiap jam makan siang kamu selalu ke sini?” Fisa merasa tak nyaman, namun tangannya tak tahan hingga membuka penutup makanannya.
“Karena kamu gak keluar kantor setiap jam makan siang.”
“Duh, balik sana ke ruanganmu!” protes Fisa.
“Oke, nanti setelah makanannya habis. Bagi telur asin dong, bawa gak hari ini?” Sadina mencari ke setiap sudut meja Fisa.
“Aku udah gak makan telur asin hari ini. Udah ada telur yang manis di rumah. Tapi ternyata gak semanis hidupku,” ujar Fisa sambil menyuap nasi dengan wajah sedih.
“Memang sejak kapan mikirin hidup? Bukannya kamu cuma mikirin kerjaan ya selama ini?” sindir Sadina. Fisa melihatnya dengan tatapan sinis.
Sebuah pesan berbunyi di ponsel Fisa. Ia segera membukanya. Ada sebuah notifikasi dari pesan instagram. Ia memang baru memasang lagi aplikasi itu setelah vacum beberapa waktu. Pesan itu ternyata sudah cukup lama.
Maaf, aku gak bisa memenuhi janji. Aku benar-benar menyesal. Kamu boleh cari pskiater lain. Sungguh maaf.
Fisa berhenti mengunyah saat melihat pesan dari Bungi. Rasa kecewa timbul dengan berbagai pertanyaan tak jelas. Mungkin Bungi memang tak bisa melakukannya.
Sadina yang melihat perubahan wajah Fisa mulai mengunyah pelan. Bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya terjadi. Raut wajah itu terlihat begitu muram.
***
Fisa keluar dari ruangannya pada pukul sembilan malam. Acara hari jadi perusahaan yang-ke 21 akan berlangsung besok. Ia pun masuk ke dalam mobil. Gantungan bola basket menjuntai saat kunci mobil diputar untuk menyalakan mesin.
Sebelum mobilnya melaju keluar gedung kantor, Fisa melihat bagian halaman tempat ia pernah berbaring di sana. Ingatan tentang Darma yang menutupi matanya ketika menangis membuat hatinya semakin hancur. Ia pun segera tancap gas.
Fisa menatap jalanan dengan pandangan lurus. Saat melewati lapang basket kompleks rumahnya ia pun menghentikan mobilnya. Gadis itu turun dari mobil.
Kakinya berjalan ke tengah lapang basket. Ditatapnya ring basket lama-lama. Matanya kemudian beralih pada gantungan bola basket di tangannya. Berbagai kenangan tentang Darma semakin menyeruak dalam dirinya.
Bayangan Darma yang berlari-lari mengelilinginya seolah masih terasa. Tubuhnya merosot ke bawah hingga terduduk. Fisa merasa lukanya seperti tetesan air hujan yang menghantam bumi. Menggenang dan butuh waktu yang tak singkat untuk menguap kembali. Entah kapan akan menghilang.
Sebuah langkah kaki terdengar mendekat. Fisa tertegun. Sebuah tangan terulur ke arahnya. Fisa langsung menengok.
“Dar ...,” suaranya tercekat saat melihat wajah Ramka.
“Siapa yang sebenarnya Kakak tunggu? Ada orang selain aku yang suka narik tangan Kakak untuk berdiri?” ujar Ramka yang langsung meraih tangan Fisa. Akan tetapi tangan Fisa malah menariknya hingga Ramka terjongkok.
“Kakak boleh rebahan di bahu kamu sebentar, gak?” tanya Fisa.
Ramka tersenyum. Ia pun mengangguk. Fisa yang terduduk merebahkan kepalanya di bahu adiknya sambil menutup mata. Sesuatu melintas dalam pikirannya.
“Ini seperti de javu,” kata Fisa.
“Hmh?” Ramka mengerutkan keningnya,
“Rasanya kakak seperti pernah mengalami hal ini. Merebahkan kepala di bahu seseorang. Tapi kakak bahkan baru melakukan ini pertama kali. Cuma di bahu kamu, Raf,” ujar Fisa.
“Bisa aja mengalami, tapi Kakak gak sadar. Atau mungkin mimpi. Terkadang kita sulit membedakannya kalau kita ragu-ragu dalam menentukannya,” balas Ramka. Fisa hanya tersenyum sebentar.
“Jangan bersedih terlalu lama, Kak. Nanti beban hati Kakak semakin berat,” adiknya mulai menasihati. Kakaknya tak mengeluarkan suara apapun.
“Entah Darma akan kembali atau nggak, yang terpenting Kakak udah banyak berbuat baik sama dia. Darma kelihatannya bukan orang yang mudah melupakan seseorang. Jadi, jangan sedih lagi. Dia pasti mengingat Kakak meski pergi tanpa pesan,” Ramka menepuk-nepuk punggung kakaknya.
Ramka begitu mengerti perasaan kakaknya meski tak mendengar respon apapun darinya. Fisa kemudian melingkarkan kedua tangannya di area bawah bahu Ramka. Fisa memeluk dengan penuh kasih sayang. Air matanya mulai menetes.
“Adifisa harus kuat,” ucap Ramka yang juga begitu sedih melihat kondisi Kakaknya. Perempuan itu mulai mengalirkan air mata yang deras meski tak bersuara.
***
Fisa datang ke acara ulang tahun perusahaan dengan memakai gaun merah dan rompi bulu pendek sebagai pemanis. Sepatunya senada dengan warna bajunya. Rambut Fisa terurai dengan indah. Make up yang digunakan pun berbeda dari sebelumnya.
Saat memasuki kantor, banyak orang yang menyapanya. Beberapa pegawai lelaki tampak memerhatikan setiap gerak-geriknya. Sejak ia terlibat dalam semua hal yang berkaitan dengan ulang tahun perusahaan, ia jadi sering berbaur dengan banyak orang.
Matanya berkali-kali melihat ponsel. Berharap Darma masih mengingatnya dan menelepon tiba-tiba. Tapi terkadang ia sadar bahwa itu mungkin hanyalah khayalan.