Telur Manis

Vina E. Silviana
Chapter #9

Bab 9

Keesokkan harinya Fisa langsung duduk di meja kerjanya yang ada di depan ruangan direktur. Untuk pertama kalinya Fisa bekerja di Perusahaan Real Estate setelah sebelumnya bekerja di Perusahaan produk makanan.

           Fisa melihat-lihat berkas-berkas yang digunakan sekretaris sebelumnya. Catatan terakhir berhenti setahun yang lalu. Fisa bisa menyimpulkan bahwa mungkin sekretaris itu telah berhenti sejak tahun itu.

           “Berarti jabatan ini kosong dong selama ini? Tapi masa iya direktur bisa gerak sendirian? Waktu aku turun jabatan pun, Pak Fredy cari pengganti sementara. Tapi ini kok gak ada jejak sama sekali, ya? Apa memang disimpan di tempat lain, atau ....”

           “Permisi, saya mau ketemu direktur,” seorang gadis berambut panjang dengan blus putih memotong ucapan Fisa yang tengah bicara sendiri.

           “Maaf, dari mana ya? Ada keperluan apa?” tanya Fisa dengan lembut. Sejujurnya ia belum melihat Arwan sejak ia duduk di kursinya. Mungkinkah lelaki itu di dalam? Fisa jadi merasa bingung sendiri, padahal seharusnya ia tahu.

           Saat Fisa hendak mengecek, pintu ruangan terbuka lebih dulu. Arwan keluar dari ruangan. Fisa yang terkejut langsung berlari ke kursinya. Arwan yang memergoki tingkahnya menahan senyum. Entah gadis itu gugup untuk hari pertama kerja atau gugup bertemu dengannya. Arwan jadi terlalu PD. Perempuan yang berada di depan meja Fisa hanya berdesis melihat tingkah Fisa.

           Fisa buru-buru melihat sebuah buku terbuka yang memperlihatkan jadwal. Fisa mengerutkan keningnya.

“Pak Direktur pagi ini ada acaranya pertemuan dengan client, tapi ....”

           “Mana Reksa? Sekretaris baru model begini? Duh, masih jauh sama Fania Raharman!” potong perempuan itu dan langsung mendekati Arwan.

           Fisa menghembuskan napas ke bagian poninya. Jelas-jelas wanita itu mengejeknya. Fisa kesal, namun api dalam hatinya harus disiram saat mengingat ini hari pertamanya kerja. Arwan sudah begitu baik memberinya kesempatan untuk bekerja.

           “Maaf, Pak. Saya gak bisa menahan Mbak ini,” ucap Fisa.

           “Nggak apa-apa. Dia memang terbiasa gak sopan kok,” ujar Ramka. Saat itu pula Fania memukul lengan Arwan. Fisa langsung memalingkan wajah. Rasanya tak suka melihat wanita yang bertindak semaunya seperti itu.

           “Stop it! Reksa ada di dalam, kan?” tanya gadis bernama Fania dengan sinis.

           “Iya, gak usah diganggu, kalau misal ...,” ucapan Arwan tak didengar Fania hingga terhenti dengan sendirinya.

           “Kebiasaan, deh!” guman Arwan ketika melihat Fania yang sudah melangkah masuk ke ruangan. Fisa mengerutkan kening. Ia sedikit bingung dengan bosnya itu.

           “Maaf, Pak. Bukannya Mbak Fania mau ketemu direktur, ya? Tapi kok Bapak malah ditinggal? Memangnya Reksa itu siapa?” tanya Fisa.

           Arwan kini terkekeh. Fisa semakin tak mengerti.

           “Reksa itu bos kamu. Saya kakaknya yang juga direktur di cabang lain. Kebetulan dia meminta saya secara khusus untuk mewawancarai kamu karena dia berhalangan hadir, maaf ya saya lupa bilang,” papar Arwan.

           Fisa melongo. Rasanya seperti tertipu untuk sesaat. Bagaimana bisa? Salah melayani dalam situasi ini mungkin bukan kesalahannya, tapi rasa malu tentu tak bisa hilang begitu saja dari benaknya. Mata Fisa mengerjap beberapa saat.

           “Saya yang salah karena gak tanya siapa tuan saya sebenarnya. Eh, maksudnya siapa yang benar-benar harus saya layani,” kata Fisa menyerah untuk terus dirantai dalam suasana yang membingungkan. Tetap saja ia pun harus minta maaf.

           “Kapan sih mau punya waktu luang!” suara itu terdengar seraya suara pintu yang ditutup keras. Bahu Fisa sempat naik sejenak karena rasa kaget.

           “Dia manggil sekretaris baru! Saya pulang!” ucap Fania dengan ketus pada Arwan. Mata marah itu terpancar jelas. Perempuan itu pun berjalan menuju lift.

           Arwan tersenyum dan membungkukkan tubuhnya hingga bibirnya sejajar dengan telinga Fisa.

           “Hati-hati, Reksa galak,” bisiknya yang kemudian berdiri tegak dan menepuk bahu Fisa. Ia lalu berjalan mengikuti Fania ke lift.

           Fisa memegang dadanya. Apa mungkin hari pertamanya ini akan membuat guncangan hebat pada mentalnya? Fisa benar-benar tak bisa menebak. Ia harus segera menghadap bosnya, jika tidak maka kata ‘galak’ akan terus terngiang di telinganya.

           Fisa mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Fisa pun segera membuka pintu. Rasanya ia tak perlu menunggu karena ia memang dipanggil.

           Sosok itu berada di balik laptopnya. Fisa tak berani memandangnya. Berjaga-jaga jika ia lebih galak. Fisa hampir tertawa jika mengingat kata-kata Ramka dalam kertas pesannya kala itu.

           “Udah siap untuk meeting dengan client?” tanya lelaki itu.

           Fisa membeku mendengar suara itu. Pandangannya diluruskan pada sosok yang tengah merapikan dasinya. Mata itu begitu dingin. Fisa merasakan tangannya bergetar.

           “Saya sudah menyiapkan berkasnya di meja kamu sebelum kamu datang. Untuk selanjutnya, semua berkas itu adalah tugas kamu. Sekarang ambil berkasnya dan siap-siap pergi dengan saya,” papar lelaki itu seraya berdiri lalu keluar dari ruangan dengan melewati Fisa.

           Sungguh, Fisa tak ingin bergerak sama sekali. Air matanya mulai menetes. Secepat mungkin ia menghapusnya lalu ikut keluar ruangan. Sosok itu tampak menunggunya sambil melihat ponsel yang berada dalam genggaman.

           Fisa segera mengambil berkas-berkas yang ada di mejanya. Ia kemudian dengan cepat membuka salah satu berkas perjanjian kerjasama dengan seorang relasi. Dicarinya sebuah nama direktur di kertas itu. Ia tak akan banyak menyimpan pemikiran yang menduga-duga jika memang belum ada bukti setelah melihat rupa bosnya.

           Darma Maha Reksa, S.E., M.M.

           Fisa menghela napas melihat nama itu dan langsung menutup berkas. Ia lalu menghampiri bosnya. Ia sudah tak ingin lagi menahan beban di hatinya karena nama itu. Fisa mulai mengambil napas panjang saat wajah itu beralih ke arahnya. Fisa ingin sekali berkata ....

           “Ayo, Pak, nanti terlambat,” ucap Fisa yang kemudian berjalan mendahului bosnya.

Sungguh, Fisa tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Fisa bahkan tak mengerti hubungan apa yang sebenarnya pernah mereka miliki. Entah sebatas atasan dan bawahan, teman biasa, ataukah sesuatu yang lain. Jawabannya mungkin hanya muncul di hati lelaki bernama Darma itu. Nama Reksa bahkan terasa asing untuknya.

           Fisa melangkah ke lift, begitupun Reksa. Ketika pintu tertutup, mulut Fisa pun semakin terbungkam. Rasanya Fisa baru menemukan hal penting dalam dirinya. Ia begitu menyukai bahkan merindui orang itu, tapi ... bagaimana dengan lelaki itu? Sosok yang bahkan tak pernah sedikitpun memperlihatkan perasaannya.

           “Selamat datang di perusahaan ini. Semoga kita bisa bekerjasama,” ucap Reksa yang setelah beberapa saat mengalami kebisuan dengan gadis itu. Fisa hanya mengangguk dengan sekuat tenaga tanpa menjawab. Lidahnya bahkan sedikit digigit agar tak kelepasan mengatakan hal yang salah.

Lihat selengkapnya