Fisa terbangun dengan wajah lelah. Ia hanya tidur satu jam karena memikirkan perihal Darma dan Reksa sepanjang malam. Saat membuka pintu, Fisa terkejut melihat dua orang yang tengah berdiri memegangi kue. Adana dan Ramka langsung menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Fisa sungguh terkejut dan bahagia.
Fisa tersenyum saat memotong kue. Cake buatan Ramka ternyata gosong dan terasa pahit saat masuk ke mulutnya. Meski tak enak, Fisa tetap menelannya. Fisa melihat Adana dengan perasaan senang dan sedih. Jika Adana sedang tertawa seperti itu rasanya ia terlihat begitu normal.
“Kakak mau kado apa?” tanya Ramka ketika mereka telah duduk di ruang tamu.
“Belagu, kayak punya duit! Uang kamu selama ini kan dari Kakak,” cibir Fisa sambil tersenyum. Ramka hanya menggaruk-garuk kepalanya.
Fisa jadi ingat pesan Arwan yang tak boleh meminta kado dari orang lain. Seistimewa apa memangnya kado dia? Tapi Ramka tentunya bukanlah orang lain bagi perempuan itu. Fisa berdiri dan berlari ke kamarnya. Beberapa detik kemudian Fisa kembali ke hadapan dua orang itu.
“Kakak mau kado ini. Apa boleh Kakak memilikinya?” tanya Fisa sambil menyodorkan sebuah gantungan bola basket pada Ramka.
“Itu kan memang punya Kakak,” jawab Ramka yang merasa aneh.
“Sekalipun tadinya ini untuk kamu? Sekalipun ... barang ini seharusnya jadi milik kamu?” Fisa mencari kebenaran dari sepasang mata lelaki itu.
“Aku gak ngerti deh. Pokoknya apapun keinginan Kakak, selama bukan minta uang sama aku, gak masalah. Bila perlu bola basket favorit Ramka pun boleh Kakak miliki,” ucap Ramka.
Sejujurnya ini masih belum jadi milik Kakak, meski kamu sudah memberikannya. Masih ada satu orang lagi yang harus memberi izin. Pemilik yang sesungguhnya.
Fisa kemudian memeluk Ramka dan Adana bersamaan. Dua orang itu begitu berharga untuknya. Ia tak akan pernah meninggalkan mereka.
***
Di tempat kerja, Fisa mulai menyusun data-data yang telah terkumpul dari beberapa staf untuk laporan pada direktur. Proyek baru seharusnya membuat ia bersemangat, tapi semalam ia benar-benar kacau. Fisa mulai menguap saat mengetik.
“Cuci muka kalau ngantuk!” suara Reksa muncul dari pintu ruangannya.
Dalam sekejap Fisa berdiri dan lari menuju arah toilet. Ia tak mau melihat bosnya untuk sementara waktu. Setelah beberapa menit Fisa pun berjalan mengendap-endap menuju mejanya. Berharap lelaki itu sudah kembali ke ruangannya.
Benar saja, Fisa tak melihat bosnya itu di depan pintu ruangan yang bersebelahan dengan mejanya. Akan tetapi, baru saja merasa lega, pintu itu terbuka kembali. Fisa buru-buru duduk dan kembali berkutat dengan laptopnya.
Rasanya ia ingin mengabaikan lelaki itu. Tapi sungguh, Fisa tak bisa menahan diri untuk memastikan sesuatu padanya. Fisa tak boleh terus menerus menyimpan ketidakyakinan. Tak mau berbagai pertanyaan itu terus bersemayam dalam hatinya.
Fisa bangkit dari kursinya dan berjalan cepat ke arah Reksa yang sedang menunggu lift. Fisa menarik lengan Reksa hingga tubuh itu menghadap ke arahnya. Lelaki itu tampak terkejut melihat Fisa yang ada di sampingnya. Pintu lift terbuka perlahan. Reksa memandang penuh pada Fisa.
“Hari ini saya ulang tahun, boleh saya minta kado dari Bapak?” tanya Fisa. Lelaki itu terdiam. Fisa memalingkan wajah ke arah lift terbuka demi bisa menahan perasaan gugupnya. Ia lalu kembali memandang wajah Reksa. Fisa tercekat. Ia rasanya melewatkan sesuatu dari pandangannya.