Telur Manis

Vina E. Silviana
Chapter #11

Bab 11

Keesokkan harinya Fisa bersikap layaknya seorang sekretaris pada bosnya. Ia pun berterima kasih atas pinjaman mobilnya. Reksa pun tampak tak ingin membahasnya. Fania bahkan kini sedang berada di ruangannya. Kini Fisa merasa masa bodo tentang siapa istrinya Reksa. Entah Fania atau siapapun, Fisa tak ingin tahu lagi.

           Ponsel Fisa berdering. Ibunya bersuara dengan isak tangis. Fisa merasa tak bisa menggerakkan tubuhnya saat mendengar kabar bahwa ayahnya kritis. Tanpa sadar air matanya menetes. Ibunya masih berkata-kata dengan suara sengau.

           “Pokoknya kamu harus makan malam sama aku malam ini!” suara lain mucul dari pintu ruangan Reksa. Fania keluar dengan wajah kesal.

           Fisa tak memerhatikannya sama sekali dan langsung menutup sambungan. Dicarinya nomor Arwan dan segera menghubunginya. Air matanya mulai deras meski tak bersuara. Rasanya ia semakin sering menangis. Nomor itu tak mengangkat selama berkali-kali. Apa Arwan marah? Tapi saat ini Fisa sedang benar-benar butuh bantuannya.

           Fania berjalan melewati Fisa dan masuk ke dalam lift. Reksa yang keluar dari ruangan berwajah kusut. Ia langsung berjalan ke arah Fisa yang tengah memunggunginya.

           “Fisa, coba kamu cek jadwal saya malam ini, apa saya punya acara yang ...,” ucapannya terhenti saat Fisa berbalik sambil menghapus air matanya.

           “Ada apa?” tanya Reksa yang menyadarinya sambil memegang kedua bahu Fisa.

           “Ayah saya kritis, Pak,” Fisa menjawab dengan pelan. Lelaki itu tak menjawab dan langsung berjalan ke ruangannya. Tak lama ia keluar dengan kunci mobilnya.

           “Ayo, ke rumah sakit sekarang,” ucap Reksa yang berjalan mendahuluinya. Fisa tak mengerti kenapa lelaki itu masih memberi perhatian padanya. Fisa mengambil tasnya dan berlari mengejar Reksa ke dalam lift.

           “Tapi ayah saya ... ingin bertemu Adana,” ucap Fisa yang mulai berkaca-kaca.

“Aku harus gimana, Darma?” tanya Fisa dengan wajah penuh kesedihan. Gaya bahasanya pun berubah seketika.

           Reksa memandanginya dengan kesedihan yang sama. Tangannya bergerak meraih tubuh Fisa dan membuatnya membelakangi Reksa. Sebelah telapak tangan milik Reksa menutup kedua mata Fisa. Perempuan itu tak kuat lagi menahan setiap beban hidupnya.

           “Kamu bisa nangis sekarang,” ucap Reksa. Tangis Fisa pecah saat lift mulai tertutup. Ia telah menemukan Darmanya lagi. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam lift. Hanya ada Darma, Fisa, dan tangisan keras di dalamnya.

***

           Sesampainya di rumah, Fisa langsung membuka kamar Adana. Gadis itu tengah tertidur. Fisa segera membangunkannya dan memberi tahu keadaan ayahnya.

           Reksa menunggu di ruang tamu. Fisa segera membuka lemari dan mengeluarkan pakaian Adana. Ia lalu meminta Adana untuk mengganti bajunya yang tak layak pakai dan ikut dengannya ke rumah sakit. Berkali-kali dibujuk, gadis itu tetap tak mau melakukannya.

           Adana berdiam diri di pojokkan kamarnya. Fisa berusaha menarik perempuan itu namun tak bisa. Fisa merasa sulit untuk membawanya ke rumah sakit.

           “Ya udah, kita berangkat dengan pakaian yang begitupun gak apa-apa,” Fisa membantu Adana yang berjongkok untuk berdiri. Namun ternyata, Adana bukan hanya tak mau berganti baju, tapi juga tak mau ikut.

           “Kakak!” bentak Fisa. Suaranya bahkan terdengar hingga ke ruang tamu. Reksa bahkan merasa khawatir dengan dua wanita bersaudara yang saling mengeraskan diri itu.

           “Kakak, untuk saat ini tolong bantu Ayah,” Fisa berjongkok di hadapannya. Ia merasa begitu terpukul melihat kakaknya. Fisa ingin Adana tahu, bahwa bukan hanya perempuan itu saja yang tersiksa, melainkan juga kedua adiknya ketika harus sama-sama ikut menghadapi trauma masa lalunya.

           Adana menggeleng. Ia tetap tak mau keluar rumah dengan ketakutan. Fisa pun bersikukuh untuk menariknya keluar. Sosok ayahnya yang terbaring lemah terbayang terus-menerus. Fisa kemudian melepaskan tangan kakaknya dengan kasar.

           “Mana yang lebih kakak takuti?” Fisa menatap tajam ke arah kakaknya. Gadis itu mulai menatap ke arah Fisa.

           “Takut keluar rumah atau takut kehilangan Ayah?” tanya Fisa dengan meneteskan air mata. Adana terdiam mendengarnya. Sungguh Fisa tak punya cara lain.

           Perempuan yang berada di pojok ruangan itu pun perlahan berdiri. Kakinya perlahan melangkah. Diraihnya tangan Fisa.

           “Ayo,” ucap Adana dengan nada lemah. Fisa yang mendengarnya langsung memeluk Adana dengan rasa sedih yang mendalam.

           “Kakak harus bangkit, Kak. Kita semua butuh Kakak,” Fisa mulai sesenggukan di bahu Adana. Kata-kata yang telah tersimpan lama di hatinya sudah tersampaikan di waktu yang tepat. Bebannya terasa luruh seketika.

***

           Adana menengok ayahnya di ruang ICU. Matanya menatap ayahnya dengan hati yang sulit dijabarkan. Fisa memerhatikan dari kaca dengan hati pilu. Akhirnya ia bisa mewujudkan keinginan ayahnya.

           Reksa menengok ke arah Fisa yang berada di sampingnya. Ia benar-benar merasa cemas dengan perempuan itu. Dayanya tak akan kuat melihat gadis itu terus bersusah hati. Meski begitu, ia pun tak mampu untuk berinteraksi bebas padanya.

           Darma menyimpan tangannya di bahu perempuan itu guna menghibur. Mata Fisa melirik jemari yang kini ada di bahunya. Lelaki itu pun terlihat begitu lelah. Menjadi seorang direktur tentunya punya segudang aktifitas yang padat. Fisa sungguh memahaminya. Keduanya hanya mampu mengisi waktu dengan kesunyian.

Lihat selengkapnya