Teman Hidup

fahrul rizki
Chapter #1

Bagian satu

“Emang kamu udah siap jadi istri?”

Begitulah pertanyaan yang aku terima dari orang-orang terdekatku ketika pertama kali aku menceritakan rencana pernikahanku. Sebagian mendoakan agar lancar sampai akad nikah namun sebagian lagi mendonasikan banyak pertanyaan.

Pernikahan bagi sebagian perempuan tentu menjadi sebuah impian. Rasanya hal ini juga berlaku bagi kaum lelaki, hanya saja untuk urusan mengekpresikan perasaan, mereka kalah telak. Itulah mengapa dalam setiap urusan pernikahan yang terlihat sibuk kesana – kemari, mengurus banyak hal dalam satu waktu yang bersamaan kebanyakan ialah perempuan. Jikapun ada, lelaki hanya hadir sebagai pelengkap yang kadang hanya mengangguk ketika ditanya atau bergumam tidak jelas ketika diajak bicara.

Entahlah apa yang ada dalam isi kepala mereka ketika mempersiapkan pernikahan.

Pernikahan tentu saja bukanlah akhir dari perjalanan hidup. Bahkan banyak sekali nasihat yang aku baca mengatakan bahwa pernikahan ialah sebuah awal dari perjalanan hidup yang baru. Kita akan memulai kehidupan bersama orang asing yang baru kita kenal saat beranjak dewasa. Kita akan serumah, sekamar bahkan berbagi satu tempat tidur dengannya.

Bohong sekali saat ada yang bilang alasan mereka menikah karena telah mengenal satu sama lain. Memangnya ada berapa banyak rahasia dalam hidup pasangan mereka yang mereka ketahui sebelum menikah? Bukankah segala sikap dan sifat asli dari seseorang akan tampak lebih jelas ketika kita telah bersamanya untuk selamanya?

Maka benar ketika salah seorang sahabatku mengatakan bahwa pernikahan ialah awal dari usaha untuk mengenali pasangan kita lebih dalam lagi. Kita harus mempersiapkan diri, terkejut dengan segala hal yang tidak pernah kita duga sebelumnya.

Aku menikah bukan semata-mata karena aku mencintai calon suamiku. Target hidup, rencana masa depan, semua telah kami bicarakan berdua jauh-jauh hari sebelum malam itu, dua bulan lalu dia mengatakan niatnya untuk melamarku secara resmi. Aku mengiyakan ajakannya untuk menikah karena aku merasa dia ialah teman yang baik untuk menjalani masa depan yang penuh misteri.

Dan di usiaku yang menyentuh angka 27 tahun, rasanya ciri-ciri fisik dari seseorang bukan lagi menjadi faktor utama mengapa aku memilihnya. Percuma tampan tapi tidak bisa mencintai dan menyayangi, percuma kaya tapi tidak mampu bertanggung jawab, percuma cerdas kalau tidak bisa terbuka dan diajak diskusi.

Hanya ada beberapa lelaki yang menurutku memenuhi kriteria tersebut. Salah duanya ialah calon suamiku dan sahabat baikku. Aku berani mereferensikan dia kepada ribuan perempuan di luar sana, bahwa dia pantas dijadikan seorang suami. Aku berani bertaruh dengan perempuan manapun entah dari belahan dunia manapun bahwa sahabatku ini tidak akan pernah menyakiti perempuan atau membuat jatuh air mata mereka.

Kenapa aku seyakin itu?

Jangankan bikin perempuan menangis, mengajak kenalan perempuan saja dia kadang gemetaran minta ampun.

Kalau bukan aku yang mengajaknya kenalan lebih dulu saat masa OSPEK di kampus dulu, mana bisa kami bersahabat hingga sekarang?

Lihat, dari tadi dia sibuk memilihkan souvenir untuk acara pernikahanku nanti. Sebagai seorang sahabat, tentu aku bersyukur sekali karena tuhan mengirimkannya untukku di saat-saat genting seperti sekarang. Di saat calon suamiku sendiri bahkan enggan diajak ke toko souvenir dan berkata urusan pernikahan dia sepenuhnya percaya kepadaku.

Maka aku tidak perlu berpikir dua kali untuk menentukan siapa yang harus aku culik di jam istirahat seperti sekarang.

Oh iya, aku ingin berbagi sedikit pengalamanku pertama kali berjumpa dengannya. Sahabatku yang pendiam tapi jago masak itu. Seorang sarjana ekonomi yang kini banting setir, meletakan ilmu ekonominya yang hebat itu lantas menggantinya dengan apron, wajan, spatula dan Teflon.

Dia duduk sendirian di taman kampus ketika jam istirahat.

Aku yang juga seorang diri, memilih untuk duduk di dekatnya bukan tanpa alasan. Di sana teduh. Dibawah pohon yang cukup rindang dia duduk sambil membaca.

“Hai, anak baru juga ya?”

Dia mendongakan kepalanya, menatapku sepersekian detik dengan tatapan penuh tanya, kemudian menganggukan kepalanya. Singkat.

“Ngambil jurusan apa?” tanyaku sekali lagi.

Dia diam sejenak lantas menutup buku yang sedang dibacanya. “Akuntansi.”

“Wah, sama dong? Program studinya?”

“S1.”

Aku tersenyum ketika tahu jawabannya. Sebagai penduduk baru di kota ini, karena sebuah alasan yang mengantarku hijrah kemari, yang aku hanya punya satu orang teman pun itu karena dia kebetulan tetangga, kini aku akan memiliki teman baru.

“Aku Rissa. Clarissa Devi.” Aku menjulurkan tangan.

Dia masih terdiam, seolah tidak menyangka kalau aku akan mengajaknya berkenalan, jika aku membaca dari raut wajahnya yang termenung beberapa detik saat itu.

“Clarissa Devi.” Aku terpaksa mengulang tuk memperkenalkan diri. “Namamu siapa?”

“Aku Dimas.”

Nama lengkapnya Dimas Angkasa.

Baiklah, bertemu orang asing pendiam bernama Dimas Angkasa ini memaksaku untuk sedikit lebih agresif. Bayangkan saja setengah jam bersamanya, dia bahkan tidak sekalipun menolehkan kepalanya meski sekadar membagikan senyum basa-basi.

“Kamu memang suka membaca, ya?”

Berhasil!

Kali ini ia kembali menutup bukunya. Bahkan dia memasukan bukunya ke dalam tas. Aku sudah mencurigai sesuatu, bahwa dia akan beranjak meninggalkan sendirian. Mungkin saja dia tidak nyaman bertemu orang baru yang sok kenal.

Dugaanku salah. Tebakanku keliru. Dimas menatapku dan aku balas dengan tersenyum.

Sungguh perkenalan yang sangat berkesan.

“Ris? Rissa? Hoi! Risaa? Bangun.”

Di saat seperti sekarang, bisa-bisanya aku tertidur dengan posisi duduk bersandar pada sofa.

“Astaga? Maaf!”

“Kamu ngantuk banget, ya?”

“Iya.” Jawabku pendek lalu buru-buru menutup mulut. Aku tidak ingin menguap di depannya.

“Udah, Dim?”

“Dari tadi.” jawabnya. “Kamu semalam begadang ya?”

Lihat selengkapnya