Teman Hidup

fahrul rizki
Chapter #2

Bagian dua

Clarissa

Dalam menjalin sebuah hubungan entah itu hubungan pertemanan, hubungan bisnis, hubungan kekeluargaan hingga hubungan asmara termasuk di dalamnya tentu saja hubungan pernikahan, diperlukan kerja keras agar ikatan tersebut semakin kuat. Salah satunya ialah rasa saling percaya antara satu dengan lainnya.

Rasanya sulit menjalin hubungan jika rasa tidak percaya tiada lagi di antara pasangan. Ada banyak hal yang dapat menjadi sebab hilangnya rasa percaya, salah satunya kejadian di masa lalu. Entah oleh salah satu atau keduanya. Entah karena kebohongan, pengkhianatan ataupun sikap yang menyakiti.

Seseorang yang pernah merasakan hal pahit itu cenderung akan menjadi lebih selektif. Bahkan untuk mempercayai setiap kata maupun tindakan oleh orang yang mengecewakannya, akan menjadi hal yang sulit. Bukan tidak mungkin rasa percaya itu telah hilang sepenuhnya. Apalagi jika itu dilakukan oleh seseorang yang telah kita anggap begitu penting dalam kehidupan kita.

Bagaimana rasanya ketika kita dikecewakan oleh seseorang yang kita sayangi, yang kita telanjur menaruh harapan besar padanya, bahwa tidak mungkin orang tersebut mengecewakan kita?

Pahit.

Rasanya tidak ada lagi kesempatan kedua baginya.

Itu yang aku rasakan pada hari dimana aku, Shena dan Dimas selesai makan siang bertiga untuk terakhir kalinya.

Sesuai janji lewat telepon, akhirnya aku dan Ario bertemu di salah satu tempat makan Japanese food yang ada di Kota Gorontalo. Aku tidak tahu mengapa Ario mengajakku bertemu di tempat ini yang hampir tidak ada pengunjung. Entah karena tempat ini berada di jalur yang sepi sehingga membuat orang-orang malas berkunjung kemari atau lidah masyarakat pada umumnya yang tidak terbiasa dengan masakan khas jepang.

Ah, di sini kan tidak hanya menjual makanan jepang?

Tapi aku tidak peduli. Aku justru suka tempat ini. Sepi. Hening. Romantis.

Aku dan Ario sudah menjalin hubungan sejak kami masih berkuliah. Saat itu aku masih semester tiga sementara Ario satu tahun di atas kami. Dia ialah salah satu mahasiswa di fakultas ekonomi yang menjadi idola banyak mahasiswi. Namun entahlah dari sekian banyak gadis-gadis yang mengidolakannnya pada jaman itu, dia justru mengatakan cintanya padaku.

Aku harus mengakui bahwa Ario itu tampan, cerdas dan baik kepada siapapun. Sikap ramahnya yang terkesan berlebihan itu nyatanya membuat banyak gadis begitu mudah mengaguminya.

“Dia itu baik ke semua orang, Ris. Jangan Ge-Er!”

Dimas berkata sinis saat aku menceritakan kebaikan Ario yang menolongku mencarikan buku di perpustakaan fakultas. Saat itu kami memang dikejar tugas oleh salah satu dosen.

Itu adalah pertemuan pertamaku dengan Ario. Iya, perpustakaan menjadi saksi. Ratusan buku yang berbaris rapi di atas rak juga ikut membisu, menyaksikan dua mahasiswa terjebak di dalamnya.

Setelah perjumpaan di perpustakaan saat itu, aku pikir tidak akan ada lagi perjumpaan berikutnya. Ario masih seperti Ario yang kita semua kenal yaitu ramah, baik dan suka menolong siapapun termasuk gadis-gadis yang suka genit cari perhatiannya. Sampai seminggu kemudian, di tempat yang sama, rak buku yang sama, ketika aku hendak mengembalikan buku yang aku pinjam, Ario tiba-tiba muncul di sana.

Dia berdiri dengan gagahnya di antara rak buku, menatapku.

Aku yang ditatap seperti itu mendadak kaku. Pandangan kami bertemu, bola mata kami beradu, kami bertatapan satu sama lain. Dia melangkah mendekat, aku menarik napas pelan.

Tidak ada siapa-siapa di perpustakaan pada saat itu. Suasana yang begitu sepi hingga derap langkah kakinya mampu membuat debar di dada.

“Kamu Clarissa, kan?”

Dia tahu namaku! Oh, tuhan. Dia tahu dari mana?

“Aku lihat di daftar peminjam buku perpustakaan. Kebetulan aku ingin meminjam buku itu.”

Aku tersenyum tanggung sambil melihat buku yang aku pegang. Dia tahu namaku dari daftar peminjam buku. Astaga, kalau Dimas tahu kejadian ini, dia pasti akan menertawakanku. Betapa polosnya aku berharap lebih pada Ario.

Aku menyerahkan buku itu padanya lalu berbalik. Meninggalkan dia berdiri sendirian di sana. Tempat ini tiba-tiba saja terasa begitu angker. Aku rasa ratusan buku yang menyaksikan kejadian tadi sedang menertawaiku.

“Hei, Clarisa. Tunggu!”

Apa?

Langkahku terhenti, menuruti permintaannya.

“Boleh diskusi sebentar?”

Aku mengernyitkan dahi. Diskusi apa?

Namun aku tetap mengiyakan tanpa tahu ternyata beberapa menit kemudian kami duduk berdua saja di taman depan perpustakaan, membahas beberapa teori dalam buku ini. Dia mengajakku diskusi atau lebih tepat meminta beberapa pendapat dariku yang justru sebaliknya, lebih banyak bertanya daripada memberikan jawaban.

Kenapa aku mau saja diajak diskusi?

Karena aku memang mengidolakannya.

Dalam kondisi seperti itu seharusnya aku mengajak Dimas buat terlibat dalam diskusi. Namun aku urung melakukannya.

 “Selamat menikmati.” Ucap pelayan sambil meninggalkan kami berdua.

 “Terima kasih,” balas Ario.    

Tidak jauh dari tempat duduk kami, duduk enam orang perempuan berjilbab. Mereka terlihat asyik menikmati makanan sambil sesekali berbagi cerita.

“Kamu tidak capek seharian kerja terus ngajak aku ke tempat ini?”

Tadi dia baru bisa menjemputku hampir jam sembilan. Itu waktu paling cepat dia pulang dari kantornya. Beruntung aku sudah selesai solat Isya. Jadi sambil menanti dia datang menjemput, aku memeriksa beberapa data dan laporan pembelian. Besok pagi-pagi sekali laporan itu harus aku serahkan pada manajer.

“Ada hal penting yang harus aku bicarakan denganmu, sayang.”

“Apa itu?”

“Nanti saja, kita makan dulu. Aku lapar dan pasti kamu juga, kan?”

Sejujurnya aku tidak suka dibuat penasaran seperti ini. Persis seperti kejadian tadi siang di kafe milik Dimas. Sampai saat ini aku masih penasaran. Bukannya aku berniat menyembunyikan rencana pernikahan tapi untuk apa Dimas menceritakannya pada Joel?

Kami makan diiringi lagu Dancing on my own yang dibuat versi instrumental.

Usai makan, setelah pelayan membereskan meja, ketika suasana semakin hening karena sepertinya tidak ada lagi pengunjung yang hendak datang, saat rombongan gadis perempuan berjilbab tadi sudah tiba di parkiran hendak beranjak pulang, Ario memulai pembicaraan.

Aku menatapnya serius hampir tak berkedip.

“Tawaran ini datang dari kantor pusat. Tidak banyak orang di perusahaanku yang bisa mendapatkan tawaran langsung dari pimpinan di kantor pusat. Hanya beberapa orang, bahkan tidak setiap tahun, dan ini kesempatan yang mustahil aku biarkan begitu saja.”

Aku mendengarkannya bicara. Dia semangat sekali. Selangkah lagi impiannya akan tercapai yaitu menjadi kepala kantor cabang. Hanya persoalan nanti dia ditempatkan di kantor cabang mana, itu yang masih misterius.

“Hanya dua tahun atau paling cepat tidak sampai dua tahun.”

Lihat selengkapnya