Teman Hidup

fahrul rizki
Chapter #3

Bagian tiga

Clarissa

Beginilah kehidupanku sekarang.

Tinggal serumah bersama mantan sahabatku yang bernama Dimas. Si pendiam yang sok romantis. Laki-laki yang selalu saja tampil pura-pura baik di hadapanku. Ternyata penilaianku selama ini padanya salah besar. Dia sama saja dengan kebanyakan lelaki di luar sana.

Aku masih berbaring, mendengarkan bunyi piring yang sepertinya mulai diatur.

Aku mendesah pelan. Aku mungkin sedikit keterlaluan. Sikapku barusan yang masuk tanpa salam lalu membanting pintu kamar, aku akui sebagai kesalahan. Berulang kali aku melakukan hal itu, berulang kali pula aku menyesalinya kemudian. Namun entah mengapa perasaan menyesal itu menjadi terasa biasa saja. Tidak memberikan lagi efek apapun.

Biasanya aku pulang dengan kondisi emosi seperti ini kalau di kantor sedang banyak pekerjaan sementara lelaki pengecut itu terus saja meneleponku. Dari balik telepon, dia berusaha merayu dengan tutur manisnya.

“Jangan dulu dibersihkan. Biar aku saja.”

Aku memandangi Dimas yang sepertinya terkejut saat aku membuka pintu kamar.

“Oh. Oke.”

“Makanan masih ada? Aku lapar.”

“Oh… ada. Masih ada, sebentar…”

Dimas baru saja hendak berlari ke dapur namun langkahnya tiba-tiba saja terhenti.

“Mau diangetin dulu?”

“Tidak perlu. Aku bisa sendiri.”

“Mau aku temani?” tanya Dimas.

Aku menatapnya tanpa suara.

“Baiklah, mungkin aku harus ke kamar. Selamat makan, Riss.”

Kamar Dimas ada di lantai dua rumah ini. Kami memang tinggal serumah tapi tidak pernah sekamar. Dia yang memilihkanku kamar di lantai bawah, dekat dengan ruang tamu, ruang televisi, akses ke dapur dan ruang makan. Di lantai dua hanya ada kamarnya dan sebuah ruangan terbuka yang biasa dipakai bersantai.

Dulu, saat aku dan Shena sering berkunjung kemari, kami sering menghabiskan waktu di ruangan tersebut. Kadang duduk di sofabednya atau berbaring di karpet bulu berwarna merah. Sesekali kalau Dimas sedang sibuk, kami mampir ke kafenya untuk meminjam kunci rumah. Seperti biasa dia pasti menyerahkan kunci rumah tapi tidak dengan kunci kamarnya.

Kamar itu tertutup rapat, baru boleh dimasuki ketika si pemilik kamar berada di rumah. Dulu aku penasaran sekali kenapa kami tidak boleh masuk ke dalam sana. Bahkan karena terlalu penasaran aku dan Shena pernah berniat membobol pintu kamarnya.

“Memangnya ada apa sih di kamarmu?”

“Iya. Kamu nyimpen perempuan ya di dalam?” timpal Shena.

“Bukan urusan kalian. Itu kamar, area paling privat di rumah ini. Tidak boleh siapapun masuk ke dalam sana kecuali istriku.”

Itu dulu, sekarang tidak lagi. Aku tidak peduli bahkan jika di kamarnya dia menyimpan harimau, singa, buaya atau dinosaurus sekalipun. Aku tidak peduli sekalipun aku boleh masuk ke sana karena sekarang aku istrinya. Terpaksa.

Usai makan malam, aku kembali ke kamar. Biar saja piringnya berantakan. Sebagai pemilik usaha kafe, urusan membereskan meja dan mencuci piring Dimas sudah pasti hebat. Dia bahkan bisa hidup sendirian tanpa seorang istri.

Masak? Paling bisa. Membereskan rumah? Dia paling rajin dibandingkan denganku dan Shena.

Dimas

Apa hal yang paling menyenangkan bagi seorang tukang masak sepertiku selain makanan yang dia olah dengan sepenuh hati, disajikan dengan penuh cinta, kemudian dicicipi atau dinikmati oleh orang lain? Apalagi masakan yang dibuat dengan tulus hati, perpaduan antara kasih dan sayang, disajikan untuk orang yang paling dia cintai?

Tentu saja bahagia.

Seperti itulah yang aku rasakan setiap kali menyajikan makanan atau minuman di kafe, kemudian si pelanggan melahapnya tanpa sisa bahkan memesannya kembali. Rasa senang otomatis menjalar ke sekujur tubuhku. Hal yang paling penting bagi orang yang bekerja di bidang yang sama sepertiku tentu saja kepuasan pelanggan. Jika pelanggan puas, dia akan menceritakannya kepada orang lain atau justru mengajak orang lain untuk mencicipinya.

Begitulah salah satu upaya memasarkan produk. Sajikan yang terbaik untuk pelangganmu lalu biarkan pelangganmu membawakanmu pelanggan-pelanggan lainnya.

Kepuasan pelanggan ialah nomor satu. Maka ketika dulu Clarissa memaksaku untuk membuatkan makanan khas korea untuknya yang dia tonton di salah satu drama korea. Dengan gaya andalannya, memaksa, aku tentu saja menurutinya.

Hari itu dia libur dan memburuku untuk segera membuatkan makanan korea untuknya. Dia dan Shena duduk di salah satu sudut kafe, bercerita persoalan wanita, sementara aku berkutat di dapur dengan bumbu masak yang aneh. Aku belum pernah memasak ini sebelumnya. Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan menjual makanan korea di kafe ini.

Sebenarnya makanan korea yang aku buat termasuk biasa-biasa saja. Mudah sekali menemukannya di banyak tempat. Beberapa bahkan menjualnya dengan system Pre-Order dan online. Memang mencari kedai atau tempat yang menjual makanan korea di Gorontalo masih sulit. Itulah alasannya Clarissa memaksaku untuk membuatnya.

Dan… tentu saja aku mengiyakannya. Siapa bisa menolak andai cinta yang memaksa?

Aku berhasil membuat kimbap sesuai permintaan Clarissa dan Jjajangmyeon sesuai hasil investigasiku dari sebuah drama komedi romantis Thailand berjudul Hello Stranger. Film yang bercerita tentang dua orang asing asal Thailand yang bertemu di salah satu kota di korea selatan. Mereka dipertemukan oleh takdir, sedikit ribut dan saling curiga di awal perjumpaan, sampai akhirnya entah bagaimana mereka memutuskan untuk menghabiskan sisa waktu berdua di negeri orang. Bersama dengan orang asing, mengeliling korea, menikmati jajanan hingga mengunjungi teman dari si tokoh utama perempuan di film tersebut termasuk mencicipi Jjajangmyeon.

Drama yang berhasil merubah persepsiku 180 derajat tentang perfilman Thailand. Selama ini aku paling anti menonton film Thailand hanya karena persoalan bahasa dan gaya bicara mereka. Namun entah mengapa, mungkin bisa jadi karena takdir, aku menemukan film itu di salah satu aplikasi menonton film, lalu menontonnya hingga habis.

Dua orang asing, bertemu untuk kemudian saling jatuh hati, lantas sekembalinya ke Thailand mereka berpisah tanpa saling kenal. Mereka tidak pernah mengetahui nama satu sama lain. Sebuah akhir yang mengenaskan.

Dan aku tidak ingin hal itu terjadi dalam rumah tangga kami. Aku dan Clarissa bukan orang asing. Kami sudah saling kenal cukup lama. Meski mungkin saat ini aku telah menjelma jadi orang asing baginya. Tidak apa. Jika menjadi asing dapat membuat kami menjalani kisah seperti di dalam film Hello Stranger, aku akan menerimanya. Aku akan menjalaninya sebagai dua orang asing yang dipertemukan oleh takdir kemudian tinggal serumah, makan Jjajangmyeon, lalu saling jatuh cinta.

Namun tidak dengan akhir filmnya.

Tengah malam saat aku keluar dari kamar, lampu di ruang makan masih menyala. Dengan ragu-ragu aku melangkah. Tidak ingin mengganggu Clarissa yang sedang makan malam.

Aku mengembuskan napas pelan setiba di ruang makan. Sepi. Hanya ada bekas piring makan yang dipakai Clarissa dan setengah porsi Jjajangmyeon yang tersisa. Aku mengambil sisanya, menuangkan ke piring bekas makan Clarissa lalu mulai melahapnya. Kami makan sepiring berdua. Satu piring dipakai dua orang secara bergantian. Definisi makan bersama menurutku ialah seperti itu.

Oh, iya. Aku membuatkan makanan itu agar Clarissa bisa mengenang kembali masa-masa ketika perang dunia belum terjadi dalam kehidupan kami.

Clarissa

Aku terbangun pagi hari oleh aroma French Toast. Masih dalam balutan mukena karena ketiduran setelah solat subuh, aku bangun lalu membuka gorden dan jendela kamar. Udara pagi bersama dengan cahaya matahari berhamburan masuk ke dalam kamar. Aku setengah menguap, meregangkan otot lalu melepas mukena.

Aku masih punya waktu dua jam lagi sebelum berangkat ke kantor.

Aroma French toast yang disajikan dengan telur dadar dan sosis panggang semakin mengusik jiwaku. Kenapa aku bisa tahu? Karena hampir setiap pagi Dimas membuatkan sarapan roti atau nasi goreng atau paling spesial nasi kuning. Kadang toppingnya saja yang suka diganti.

“Hai, Riss?” begitu sapa Dimas saat aku berdiri tidak jauh darinya.

“Mau sarapan?”

“Aku mau mandi.” jawabku singkat.

Sayang sekali kamar yang dia berikan untukku tidak ada kamar mandi pribadi. Karena itulah setiap kali aku mau mandi, buang air atau wudhu, aku harus ke kamar mandi yang ada di dapur. Dimas curang karena hanya di kamarnyalah yang ada kamar mandi pribadi.

Seolah mengerti maksudku, Dimas memutuskan pergi.

Aku tidak tahu Dimas pergi kemana. Entah ke luar untuk sekadar menghirup udara pagi, atau memanaskan mesin motornya atau kembali ke kamarnya. Tepatnya aku tidak peduli.

Seperti biasa aku sarapan sendirian. Hanya dengan begitu rasa kemanusiaanku tetap terjaga. Saling menghargai. Dia menghargaiku dengan membuatkan makanan sementara tugasku menghargainya dengan memakan masakannya. Hubungan saling menghargai di antara kami sesederhana persoalan makanan. Masak lalu makan.

Lihat selengkapnya