Dimas
Hari yang melelahkan.
Kafe kedatangan banyak pengunjung hari ini. Aku bahkan sampai lupa kalau sudah membuatkan nasi goreng kampung untuk Clarisa. Apalagi dua jam menjelang tutup, Mira membawa banyak teman-temannya ke kafe. Jumlahnya lumayan banyak, mungkin ada dua puluhan orang. Aku saja sampai bingung dibuatnya. Kalau nanti teman-temannya yang lain datang mau disuruh duduk dimana? Masa iya aku harus gelar tikar demi mereka? Memangnya mau syukuran?
Mira baru memberitahuku kalau salah satu teman di kampusnya sedang berulang tahun ketika kami mulai sibuk bersih-bersih. Aku membersihkan, merapikan serta mengatur kursi dan meja serta menyapu seisi kafe, Joel bagian mencuci peralatan makan dan masak, sementara Mira sibuk menghitung omset hari ini.
“Maaf ya, Bang.” Ucap Mira pelan dengan nada bersalah.
Aku yang saat itu sedang menyeret meja, memindahkannya ke tempat seharusnya, menghentikan aktifitas lalu menatap gadis belasan tahun itu. Eh? Dia sibuk dengan pekerjaanya. Lalu siapa tadi yang minta maaf? Suaranya jelas sekali dan aku yakin itu suara Mira.
“Bang? Bang Dimas tidak marah kan?”
Kali ini Mira menatapku, membuatku yakin kalau tadi yang minta maaf adalah dia bukan makhluk halus. Menurut info beredar, tidak jauh dari kafe ini ada sebuah rumah tua yang dipakai bunuh diri oleh seorang gadis karena tidak mendapatkan restu pacaran dari ayahnya. Dia dengan polosnya memilih untuk mengakhiri hidupnya. Lalu apa kabar si cowoknya? Jangan harap dia akan menenggak racun seperti Romeo di film romeo dan Juliet. Kabarnya, si cowok justru pacaran sama sahabat dari si korban bunuh diri itu.
Brengsek? Tentu.
Darimana aku dapat cerita itu? Joel. Aku tidak peduli itu kisah nyata atau hanya karangan si Joel saja. Atau mungkin kisah nyata yang sudah didramatisir olehnya.
“Kenapa aku harus marah? Kenapa juga kamu minta maaf?”
“Gara-gara saya, kafe jadi telat tutup.”
Aku berdehem pelan.
“Mir? Kafe memang tutupnya jam segini, jam sepuluh.”
“Tapi biasanya pas tutup, kita semua udah siap-siap pulang. Sekarang masih sibuk sama kerjaan masing-masing.”
“Namanya juga rejeki, Mir? Masa iya mau ditolak? Lagipula mereka teman-teman kamu kan? Mereka itu pelanggan. Katakanlah mereka mau sampai jam dua belas di sini, aku bakal tungguin kok. Santai saja, jangan semua hal kamu jadikan beban pikiran. Tidak baik.”
“Iya sih. Seharusnya saya ngomong dulu sebelumnya jadi kita bisa prepare lebih baik lagi.”
“Boleh juga ya? Jadi nanti kalau ada yang mau sewa tempat buat pesta kecil-kecilan seperti ulang tahun temanmu tadi, mereka harus order dulu. Booking dulu. Nanti kalau mereka booking tempat duluan, bakalan dapat bonus kue tart ulang tahun atau gratis ice lemon tea sesuai jumlah tamu.”
“Boleh, bang! Justru bagus, bisa menarik minat dari pelanggan. Jadi bukan hanya ulang tahun. Meeting kecil-kecilan juga boleh tuh! Nanti aku ngomong sama beberapa teman di kampus yang aktif di organisasi, daripada mereka rapatnya di tempat yang itu-itu saja, bosan, mending di tempat kita kan? Nyaman, ada AC-nya, sama gratis lemon tea.”
Aku memang tidak salah merekrut Mira menjadi anggota team kafe ini. Dia sangat bisa diandalkan. Kalau Joel sudah mulai bisa dilepas untuk urusan dapur dan pelayanan, maka Mira sangat cocok untuk menangani manajemen kafe serta keuangannya.
Semoga mereka berdua tidak berjodoh. Jangan sampai, pokoknya, titik!
Bahaya sekali kalau sampai mereka berjodoh lalu memutuskan resign bersamaan, kemudian mendirikan usaha sejenis yang mereka kelola berdua. Itu berarti perang bisnis dimulai.
Hampir setengah sebelas saat kami sudah di luar kafe. Semua pintu sudah ditutup. Perangkat listrik dan air juga telah dimatikan.
“Mira mau pulang ke kostsan? Ayo aku antar?” aku menawarkan tumpangan.
“Eits! TIDAK BOLEH! Mira harus diantarkan oleh yang belum beristri.” Joel buru-buru menyela.
“Kamu?”
“Bebas, siapa saja. Bisa aku, bisa tukang ojek. Ya, dilihat saja siapa yang ada.” Jawab Joel sambil menaik-turunkan alisnya.
“Tidak usah repot-repot. Kostsan saya kan dekat, jalan kaki juga sampai kok.”
“Eh, tidak boleh! Aku sebagai asisten satu-satunya bang Dimas tidak akan memberikan izin kalau ada karyawannya yang pulang sendirian. Aku bertanggung jawab memastikan kondisi setiap karyawan pulang di rumah dalam keadaan selamat.” Joel menjelaskan panjang lebar.
Ha? Sejak kapan aku mengangkat dia jadi asisten? Dan aku tidak butuh asisten.
“Tapi…”
“Tidak ada kata tapi, Dek Mira. Ayo naik, di jalanan banyak orang jahat.” Joel melirik kearahku. “Bisa jadi yang kelihatannya baik sekali justru ialah penjahat sebenarnya.” Lanjutnya.
“WOI! Maksudmu apa bilang penjahat tapi natapnya ke aku?” tanyaku yang disambut nyengiran khas seorang Joel.
Sebelum tiba di rumah, aku mampir sebentar di minimarket. Kadang sebelum tidur Clarissa akan menyelinap ke dapur untuk sekadar membuat mi instan. Setelah aku ingat-ingat stok mi instan di dapur sudah habis.
“Ini saja belanjaanya kak?” tanya kasirnya, laki-laki dua puluh tahunan. Mungkin baru lulus kuliah.
“Iya.” Jawabku singkat.
“Tidak ada tambahan lain? Mungkin roti atau biskuit?”
“Tidak, terima kasih.”
“Pulsanya sekalian, kak?”
“Maaf, aku pakai pasca-bayar.”
“Atau mau yang ini kak?” dia masih berusaha menawarkan jualannya. Mungkin karena tidak ada pelanggan yang ikut antri di belakangku hingga semua barang di minimarket ini dia tawarkan satu persatu padaku. Aku cukup terkejut saat tahu barang apa yang dia tawarkan barusan.
Itu alat kontrasepsi pria!
“Terima kasih. Silakan datang kembali.” Kata si kasir sambil menyerahkan belanjaanku.
Gara-gara si kasir tadi aku sampai kepikiran terus alat kontrasepsi itu. Manfaatnya untuk apa? apa aku harus membelinya? Buat apa? pajangan di kamar? Atau jimat yang aku bawa kemanapun aku pergi?
Aduh! Jangan yang aneh-aneh, Dimas!
Hampir jam sebelas tapi lampu di teras masih menyala. Pintu rumah juga terbuka lebar.
Apakah Clarissa sudah tiba di rumah? Lalu kenapa dia tidak mematikan lampu dan menutup pintu?
“Assalamualaikum.” ucapku pelan seraya melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
Ada suara orang mengobrol dari dapur. Semakin dekat, suara itu terdengar makin jelas. Aku tahu itu suara siapa. Aku kenal si pemilik suara lembut nan bersahaja itu. Suara itu yang melekat erat di telinga hingga kepalaku. Suara yang bersenandung membuatku tertidur dalam pangkuan. Suara yang dengan lemah lembut menenangkanku saat aku cemas, panik atau bahkan sedang meraung dalam tangis.
Itu suara Ibu.
“Hei, sayang?” Clarisa menyambutku tepat saat aku tiba di ruang makan.
Eh?
Tubuhku menegang saat Clarisa meraih tanganku dan merangkulnya. Mesra. Aku hampir saja lupa pada perjanjian kami bahwa di hadapan siapapun kami akan bersikap baik-baik saja. Rumah tangga yang tidak pernah direncanakan ini harus tampil sempurna atau minimal tanpa celah.
Ingin rasanya aku meraih pundaknya, mengusap kepalanya, sambil memainkan ujung rambutnya. Namun urung aku lakukan sebab aku tahu resiko yang akan terjadi di kemudian hari. Drama boleh, tapi berlebihan jangan. Itu salah satu perjanjian tak tertulis di antara kami.