Jika bukan karena permintaan Prisa, aku tak akan mengiyakan ajakan Maurin untuk dinner. Aku bukan tipe cowok yang suka basa basi, kalo aku tidak suka ya tidak suka. Tapi Prisa memintaku untuk menghargai perasaan Maurin padahal dalam kamusku lebih baik aku menolak di depan daripada nantinya akan menimbulkan sebuah harapan.
Sekarang ini aku sedang bersama Maurin di sebuah resto makanan khas Italy, aku memang menyukai tempat ini namun maaf tidak untuk partnernya, aku berharap yang ada di depanku adalah Prisa, jujur saja walaupun ragaku bersama Maurin tapi seluruh jiwaku, hatiku, pikiranku tertuju pada Prisa apalagi dia sedang dilanda perasaan tidak enak karena tadi siang dia bertemu dengan Jason, mantan kekasih yang membuatnya menutup diri selama ini padahal cita-citanya ingin menikah muda, lucu juga anak itu.
Aku sedikit tersenyum ketika membayangkan itu, membuat Maurin mengernyitkan dahi.
"Lo kenapa Ken?" tegurnya heran.
Aku terhenti dari aktifitas lamunanku. "Ah eh enggak papa kok." Jawabku gelagapan seperti habis tertangkap basah sedang mencuri.
"Oh iya gimana Ken ajakan gue kemarin?" Tanya Maurin to the point tentang ajakannya ikut gathering acara kantornya di Puncak.
"Gue gak bisa kayaknya Rin, banyak kerjaan yang harus gue selesaikan." Aku beralasan.
"Masih kayaknya kan? Siapa tau nanti ada waktu longgar." Maurin mencoba menawar waktuku.
"Gue salah ngomong nih." Gerutuku dalam hati.
"Ayo dong Ken." Bujuknya dengan wajah memelas manja membuatku agak sedikit ilfeel, maaf aku harus jujur.
Sumpah ya! Ini orang maksa banget. Aku berpikir keras mencari berbagai alasan.
"Sorry banget ya Rin, gue kan baru di lantik di perusahaan bokap jadi gue harus menunjukkan eksistensi gue terhadap kantor kalo tiba-tiba gue keluar kota tiga hari diluar kegiatan kerja apa kata bokap gue nanti." Ku rasa ini adalah alasan yang paling tepat.
"Gimana kalo nanti gue yang ngomong sama bokap lo Ken, nanti minta bantuan Prisa juga." Cetusnya.
"No no no! tolong jangan bawa Prisa ya." Aku mulai frustasi menghadapi Maurin yang tak menyerah masih saja usaha untuk membujukku.
"Lho kenapa Ken? Prisa pasti mau bantu kok." Maurin tetap ngotot yang membuatku benar-benar bete. Inginku berkata kasar tapi dia perempuan, aku sangat menghargai perempuan dan tidak akan pernah membentak perempuan.
"Nggak usah ya, gue tetap gak bisa ikut Rin Sorry." Tegasku
Wajah Maurin berubah cemberut. Demi apapun itu sangat tidak penting bagiku, aku sudah mengatakan tidak dan aku tidak suka dipaksa. Pikiranku terus mengarah ke Prisa
Prisa sedang apa ya? Apa dia masih kepikiran soal Jason? Pikirku dalam hati.
"Beneran gak bisa nih Ken?" Tanya Maurin meyakinkan lagi.
Ya ampun! aku sampai mengertakkam gigi saking geregetannya pada Maurin, sayang sekali wajah cantik namun terlalu agresif juga tidak bagus.
"Maaf banget ya Rin gue gak bisa." Aku tersenyum dengan penuh paksaan.
"Ya udah deh gapapa Ken." Akhirnya Maurin menyerah juga. Aku menghela nafas lega.
Ku buka ponselku berniat untuk mencek keadaan Prisa, saat itu aku ingin segera pulang untuk menemuinya. Sementara Maurin menyantap fetucini Ala carbonara sambil banyak bercerita tentang dirinya, hobinya, pekerjaannya dan lain-lain. Aku hanya menanggapinya dengan senyum tipis, beginikah rasanya terpaksa? keluhku dalam hati. Pembicaraan terasa menjadi membosankan dan waktu menjadi lebih lambat, jujur saja aku hampir frustasi menghadapi situasi seperti ini.
"Oh iya Ken, nanti kalo ada film bagus lo temenin gue nonton dong." Pintanya.
Ini lagi, masih saja usaha. Hebat juga Maurin, pantang menyerahnya boleh juga tapi tidak buatku. Mungkin ini yang dinamakan perjuangan, tapi apakah sebuta ini? Tak bisakah dia melihat responku yang dari tadi rasanya ingin cepat pulang.