Aku pikir akan kehilangan teman-temanku setelah perbuatan memalukan yang tak ku pikir panjang ketika aku hanya mementingkan obsesi dalam diriku. Aku malu dan mengutuki diriku dikamar sampai aku tak masuk ke kantor sudah tiga hari dengan hari ini. Walaupu publik tidak tau bahwa aku yang sudah memfitnah Prisa dengan menyebarkan berita yang tidak benar. Aku malu Prisa yang masih mau menerimaku dengan hangat dan masih menganggapku sebagai sahabatnya begitu juga Tazkia dan Malika. Tazkia yang sempat juga ku buat marah karena ku adu domba dengan Prisa. Aku benar-benar menyesal.
Bahkan untuk menghadiri acara pertunangan Malika dan Alif tadi malam saja rasanya aku takut, karena aku sendirian sedangkan yang lain bersama pasangannya masing-masing. Aku sudah tobat untuk mempermainkan hati banyak lelaki, aku sadar jika aku sudah banyak membuang-buang waktu untuk hal semacam itu. Hingga malam itu aku sempat mengurungkan niatku untuk menghadiri acara pertunangan sahabatku Malika dan Alif namun Prisa dan Kenzie menjemputku dirumah, walaupun kini mereka sudah resmi berpacaran dan juga ingin proses lamaran, Prisa tidak melupakanku begitu juga Tazkia, walaupun mereka kini sudah mendapat pasangan dan aku masih sendiri.
Aku bahagia bisa melihat teman-temanku bahagia, dan kini aku fokus menjadi pribadi yang lebih baik untuk mendapatkan pria idaman yang siap menjadi teman hidupku.
Ku dengar suara pintu kamarku dibuka, ku balikkan badanku ke arah pintu kamar, aku yang sedang bermalas-malasan ditempat tidur seperti orang sakit, tak ada hal lain yang ku kerjakan seharian aku betah berkutat dengan tempat tidurku.
"Mbak Maurin!" Panggil Siti dengan nada sopan. Tumben banget ini orang bisa sopan juga. gumamku dalam hati.
"Mmm... ada apaan?" Sahut cuek sembari memainkan ponselku.
"Diluar ada Mas Evan lagi tuh, ini udah hari ketiga lho dia samperin kesini terus. Yakin nih nggak mau nemuin sebentar aja, kasihan lho Mbak." Ucap Siti memasang wajah iba.
Aku melirik Siti. "Dia nungguin ya?" Tanyaku.
"Iya Mbak." Angguk Siti. "Dia pengen memastikan kondisi Mbak katanya." Tambah Siti.
Aku terdiam sejenak. "Tapi gue malas keluar Ti, gimana dong." Keluhku.
"Masa disuruh pulang lagi Mbak, saya yang nggak tega Mbak udah dua hari dia saya suruh pulang." Sungut Siti dengan wajah polosnya.
Aku memandang Siti dengan wajah memelas dan aku masih belum mau beranjak dari tempat tidur yang rasanya tak rela jika aku tinggalkan.
"Ayolah Mbak, Mas Evan tu orangnya baik. Dia perhatian banget sama Mbak, trus ramah lagi, cakep pula tipe suami idaman banget Mbak." Siti mulai ngelantur.
"Ramah dari mana? Bawel gitu mulutnya nyerocos aja kalo sama gue dikantor, paling-paling kalo gue gak ada dia kesepian karena gak ada teman berantem dikantor." Aduku pada Siti.
"Masa sih Mbak, dia baik kok sama Siti ramah." Sergah Siti dengan nada pembelaan pada lelaki yang menjabat sebagai bos super menyebalkan itu.
"Dia naksir kali sama kamu." Ucapku sekenanya.
"Kalo sama Mas Evan Siti nggak mau ah." Cetusnya mengangkat bahu.
Aku menyeringai. "Dih sombong amat lu." Cibirku.
"Nggak mau nolak maksudnya." Siti nyengir. "Ayolah Mbak keluar yuk." Bujuk Siti dengan sabar dengan polahku yang uring-uringan.
"Gendooong." rengekku manja, membuat wajah Siti berubah masam. "Kalo nggak digendong nggak mau keluar." kataku dengan nada manja yang kubuat-buat.
Siti jadi garuk-garuk kepala. "Duuuh Siti nggak kuat Mbak." Siti mendesah seperti sedang menahan masalah yang berat.
"Ya udah kamu aja yang keluar, aku sakit ni lagi pusing, aduuh mau muntah, aduh sakit perut, aduuh sakit hati." Aku mencari berbagai macam alasan untuk mengelabui Siti.
Siti terlihat panik. Kemudian dia langsung keluar kamar, aku pikir Siti bergegas mengambilkanku obat namun setelah dia kembali alangkah terkejutnya aku dia meminta tolong Evan untuk memeriksa keadaanku jika di rasa perlu di bawa kerumah sakit maka dengan sigap, Evan langsung turun tangan.
Astaga Siti bikin malu aku aja di depan Bos bawel ini, aku terlihat pucat tanpa olesan apapun di wajah, dengan rambut berantakan juga dengan piyama tidur warna putih bercorak banana. Aduh betapa malunya aku ketika Evan melihatku dalam keadaan menjijikkan seperti ini.
"Hai Maurin, kamu pucat banget. Kamu belum makan kan?" Tanya Evan lembut.
Aku menggeleng. "Kenapa Bos keluar pada saat jam kerja?" Aku balik bertanya.
"Kan saya udah bilang kalo diuar kantor jangan panggil saya Bos." Tegasnya dengan suara pelan nan lembut membuatku agak terkesima ketika sikapnya berubah jadi manis.