Barang kali semesta bukan tengah menyulitkanmu, melainkan tengah merindukan mu.
Siapa tau begitu!
Lamban- lamban Arah mulai membuka kedua matanya. Dan tatapan pertama yang ia temukan adalah pemandangan di luar candela yang begitu sejuk, sepertinya matahari pagi ini tengah mencoba untuk bersembunyi di balik awan hitam. Bahkan beberapa dedaunan kering berguguran dan menari-nari mengikuti arah angin yang membawanya.
Arahpun mencoba melangkahkan kaki menuju ke posisi candela, lalu ia mulai membuka candela dan menghirup udaranya.
‘’Ah sejuknya.’’ Ucapnya dengan senyum simpul. Sebelum akhirnya ia mulai memejamkan kedua matanya sekilas, sambil berusaha menikmati udara yang ditawarkan oleh semesta kali ini.
Arah mulai menikmatinya, ia mulai santai bahkan merasa amat tenang, namun tiba-tiba saja ketenangannya sedikit terganggu akibat notif pesan hadir membubarkan konsentrasinya.
Karena Arah tipikal orang yang moody-an, sehingga ia memilih untuk tidak menggubrisnya kali ini, Arah malah kembali memfokuskan diri untuk menikmati udara pagi ini.
Bagi Arah, kebahagiaanya adalah saat semesta tengah memberikan kejutan-kejutan indah yang tak terduga, seperti saat ini, suasana tenang, sejuk bahkan terasa menyegarkan mampu membuat Arah tak ingin memperdulikan siapapun.
Ia memang begitu, lebih menyukai keheningan sepertinya. Cukup semesta saja yang menemani, bagi Arah itu sudah cukup. Tapi ada satu lagi, yaitu Bhumi. Manusia yang menurut Arah sama sepertinya. Suka akan ketenangan. Meski bedanya Arah selalu over thingking sedang Bhumi, dia tidak sama sekali. Justru dia adalah manusia paling tersabar menurut Arah.
‘’Ah, kenapa sepagi ini harus mengingat mas Bhumi sih?’’
Tatapannya mulai tertuju pada bagunan rumah berchat moca yang terletak di depan rumhnya itu.
"Astaga, mas Bhumi." Hanya itu yang keluar dari mulutnya, sebelum ia pergi menuruni satu demi satu anak tangga, lalu bergegas keluar dari rumahnya dengan masih lengkap memakai baju tidur. Entah kenapa dengan Bhuminya, yang pasti Arah tengah tergesa-gesa kali ini.
"Mas Bhumi tunggu?" Nafasnya terasa terpenggal-penggal. Padahal jarak antar rumahnya hanya terhalang jalan ber aspal saja, tapi kenapa nafasnya seperti orang yang tengah berlomba lari marathon.
"Iya Ra, kenapa sampek ngos-ngosan gitu sih?’’ Bhumi yang baru saja menaiki mobil segera turun saat mendengar suara bariton Arah yang menggelegar namun terasa ngos-ngosan itu.
‘’Mas Bhumi kenapa gak bilang kalau mau berangkat sekarang?’’ Arah mencoba mengutarakan maksud dari ketergesaannya barusan. sambil sesekali ia berusaha untuk mengatur nafasnya.
‘’Kan tadi malam, mas Bhumi sudah ngirim pesan ke Arah?’’
‘’Iya kah?’’ Cepat-cepat Arah mulai mengecek ponselnya.
‘’Sudah Arah, mas Bhumi sudah chat Arah tadi malam.’’ Bhumi mengulangi perkataannya kembali, takut jika Arah tak mempercayainya.
‘’Oh iya hehhehe, maaf kalau begitu mas Bhum,’’ Arah sedikit mengulam senyum kecut, Arah baru ingat, tadi malam ia sebenarnya mengetahui chat masuk dari Bhumi, hanya saja, Arah terlalu malas untuk membalas, justru ia memilih membiarkan chat itu tertimbun dengan chat group bahkan ia malah mengepost story tanpa berniat untuk membalas chat siapapun termasuk Bhumi.