Pagi itu, Arya bangun dengan tubuh lemas dan kepala berat. Ia tidak bisa tidur setelah kejadian semalam. Suara hujan masih terngiang di telinganya, begitu pula bayangan Genta yang menghilang di depan matanya.
Ia mencoba mengabaikan semuanya dan bersiap pergi ke sekolah. Namun, saat hendak keluar kamar, ia melihat sesuatu di lantai. Sebuah benda kecil, seperti gelang tipis yang terbuat dari anyaman benang merah, tergeletak di dekat jendela.
Arya memungutnya dengan alis berkerut. "Ini punya siapa?" gumamnya. Ia yakin benda itu tidak ada sebelumnya.
Di sekolah, suasana lebih ramai dari biasanya. Asha, yang sudah duduk di bangku mereka, melambai dengan semangat seperti biasa. Arya berjalan ke arahnya, mencoba terlihat normal.
“Pagi, Arya! Kok mukanya lecek banget? Semalam begadang, ya?” tanya Asha sambil menaruh buku di mejanya.
Arya tersenyum tipis. “Nggak bisa tidur aja.”
Asha mengamatinya dengan tatapan penuh perhatian. “Kamu kenapa, sih? Aku ngerasa ada yang kamu sembunyiin.”
Arya menggeleng cepat. “Nggak apa-apa kok. Aku cuma belum terbiasa sama tempat baru.”
Namun, saat pelajaran berlangsung, pikiran Arya terus melayang ke gelang merah yang ia temukan pagi tadi. Ia merasa benda itu bukan benda biasa, tetapi tidak tahu kenapa ia berpikir seperti itu.
Saat istirahat, Arya dan Asha kembali ke kantin seperti kemarin. Asha sibuk berceloteh tentang klub seni yang akan mengadakan pameran, sementara Arya hanya setengah mendengarkan.
“Eh, kamu dengerin nggak sih?” tanya Asha tiba-tiba.
Arya tersentak. “Hah? Denger kok.”