Arya duduk di lantai kamarnya, memandangi gelang merah yang kini terasa seperti beban di tangannya. Kata-kata Genta tadi malam masih bergema di telinganya: “Kalau gelang itu ada di sini, artinya sesuatu yang buruk akan datang.”
Pagi itu, Arya mencoba melanjutkan hidup seperti biasa. Namun, perasaan aneh terus menghantuinya. Apa hubungan gelang itu dengan Genta? Dan kenapa ia merasa seperti sedang diawasi sejak malam sebelumnya?
Di sekolah, suasana tampak normal. Asha menyambutnya dengan tawa dan cerita-cerita ringan, mencoba mengangkat suasana hati Arya. Tetapi Arya tidak bisa sepenuhnya fokus.
Saat jam istirahat, Arya mengambil keberanian untuk bertanya kepada Asha.
“Asha, kamu tahu sesuatu tentang gelang merah? Maksudku, kayaknya itu sesuatu yang ada artinya, nggak sih?” tanyanya, mencoba terdengar santai.
Asha mengernyitkan dahi. “Gelang merah? Kayak gelang persahabatan gitu maksudnya?”
“Bukan, ini lebih... kayak benda tua. Kayak punya arti tertentu.”
Asha berpikir sejenak. “Hmm, nggak pernah dengar sih. Tapi aku tahu siapa yang mungkin tahu.”
“Siapa?” Arya menatapnya penuh harap.
“Ilham. Dia kan suka hal-hal kuno. Koleksi seni-nya banyak yang aneh-aneh. Kamu bisa tanya dia, mungkin dia tahu.”
Mendengar nama Ilham, Arya langsung teringat tatapan aneh cowok itu saat mereka pertama kali bertemu. Sesuatu tentang Ilham membuat Arya tidak nyaman, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan rasa penasaran.
Setelah sekolah, Arya memutuskan untuk menemui Ilham di ruang seni. Ia masuk ke ruangan itu dengan hati-hati, memperhatikan rak-rak penuh patung kecil, lukisan, dan barang-barang unik lainnya. Di sudut ruangan, Ilham sedang memeriksa sebuah kotak kayu tua.
“Ilham,” panggil Arya pelan.