Benturan keras pada pintu semakin menggema, membuat Arya nyaris kehilangan kendali atas napasnya. Laras memegang pisau kecil itu dengan erat, matanya terfokus pada pintu yang bergoyang.
“Arya, mundur ke belakangku!” perintah Laras tegas.
Arya menurut, tubuhnya gemetar. Ia memegang gelang merah di pergelangan tangannya, mencoba mencari secercah rasa aman dari benda kecil itu. Namun, rasa takut yang membanjiri dirinya membuat segalanya terasa sia-sia.
Pintu tua itu akhirnya terhempas terbuka, dan angin dingin menyapu masuk. Dari kegelapan di luar, sosok-sosok samar bermunculan—bayangan yang bergerak tanpa bentuk yang jelas. Mata mereka kosong, namun memancarkan kebencian yang begitu nyata.
“Mereka ini... apa?” Arya berbisik, matanya membelalak.
“Bukan apa,” jawab Laras. “Mereka adalah luka. Luka jiwa yang terperangkap dalam kekosongan.”
Salah satu sosok itu melayang maju, suara geram yang rendah memenuhi ruangan. Laras segera menghunuskan pisaunya ke arah makhluk itu. Cahaya redup dari ukiran pisau menyala terang, membuat makhluk tersebut mundur sejenak dengan teriakan menyayat.
“Arya, gelang itu—” Laras berteriak sambil menangkis serangan sosok lain. “—adalah penghubung sekaligus pelindungmu. Tapi kalau kamu nggak percaya pada kekuatan itu, mereka bisa melewatinya!”
Arya melihat bayangan lain melayang mendekatinya, dan rasa takut melumpuhkan tubuhnya. Namun, suara lembut di kepalanya—suara yang ia kenal sebagai Genta—membisikkan sesuatu.
“Tenang, Arya. Aku di sini. Fokus pada gelang itu, dan ingat, kamu punya keberanian.”