Cahaya dari gelang Arya perlahan meredup, namun rasa dingin dari ancaman yang mendekat terus menusuk hingga ke tulang. Laras berdiri di sisinya, menggenggam pisaunya erat. Tatapannya menunjukkan kekhawatiran, namun ia mencoba tetap tegar.
"Kalau mereka datang lagi, aku nggak yakin kita bisa bertahan," kata Laras.
Arya menoleh, napasnya masih memburu setelah mengusir makhluk-makhluk bayangan tadi. "Kita nggak bisa terus lari. Kalau kita nggak lawan mereka sekarang, kapan lagi?"
Laras mendesah, pandangannya berpindah ke arah gelang di tangan Arya. "Masalahnya, kamu bahkan nggak tahu apa yang bisa gelang itu lakukan sepenuhnya. Kalau sampai kamu salah langkah..."
Arya memotongnya. "Kalau aku nggak mencoba, kita nggak akan pernah tahu."
Genta kembali berbicara dalam pikiran Arya. "Dia benar, Arya. Gelang itu belum menunjukkan semua potensinya. Tapi untuk membuka kekuatannya, kamu harus membuka hatimu. Jangan biarkan rasa takut mendominasi."
Arya mengernyit, menatap gelang itu sejenak. "Membuka hati? Maksudmu apa?" tanyanya, tidak peduli bahwa Laras mungkin akan menganggapnya aneh berbicara sendiri.
Laras menatapnya dengan curiga. "Kamu ngomong sama dia lagi, ya? Genta?"
Arya mengangguk. "Dia bilang aku harus membuka hati untuk mengaktifkan kekuatan gelang ini sepenuhnya."
Laras mendengus. "Kalau itu caranya, lebih baik cepat kamu lakukan. Karena lihat ke sana."
Arya mengikuti arah pandangan Laras, dan matanya membelalak. Dari bayangan jauh, sosok besar mulai terlihat, lebih jelas dari makhluk-makhluk sebelumnya. Tingginya hampir setara pohon-pohon di sekitar mereka, tubuhnya hitam pekat dengan kilauan merah dari mata dan coretan seperti luka di tubuhnya.
Makhluk itu mengeluarkan suara geraman rendah yang membuat tanah di bawah mereka bergetar.
"Apa itu?" Arya berbisik, tubuhnya mulai gemetar.
Laras menjawab cepat. "Entahlah. Tapi aku yakin satu hal—itu bukan teman kita."