Temani Aku Ke Masjid

Dani Yuliadi
Chapter #1

TRAGEDI

Rembulan sudah menghilang dari langit malam. Menandakan bergantinya bulan baru. Tidur memang menyenangkan. Aku bermimpi makan-makanan yang amat lezat. Sekilas aku mendengar seseorang memanggil. Ah, tidak mungkin. Suaranya makin keras terdengar.

"Fai, Fai, Fai bangun!" Amak membangunkan aku. Aku masih tertidur. Sekali lagi beliau membangunkan. "Azan subuh sudah lewat Fai. Kalau Abi mu tahu, barulah kau tahu rasa." Geram melihat aku yang tidak bangun.

"Abi..." teriaknya panjang.

"Iya Amak," sahutnya masih dengan jarak yang jauh.

Bangkit aku dari tempat tidur. "Iya Amak, aku bangun." Aku lekas pergi sebelum Abi tiba, bisa dalam bahaya kalau Abi datang dan aku masih tidur. Inilah kehidupan. Aku pergi menjalankan kewajiban. Salat lima waktu di masjid. Apalagi aku adalah seorang anak laki-laki. Abi paling anti kalau aku salat di rumah.

Sesampainya di masjid, cukup ramai. Untung saja aku tidak terlambat. Dari jauh aku melihat Abi. Cepat-cepat aku berwudu dan masuk. Sebenarnya aku tidak ada masalah dengan salat di masjid. Walaupun untuk bangun subuh aku masih perlu alarm dari Amak. Hanya saja yang aku sayangkan adalah tidak ada lagi remaja seletingan aku yang ikut salat di masjid.

Sialnya aku hanya bertemu dengan bapak-bapak, om-om, kakek-kakek yang sudah bau tanah, dan juga nenek yang sama dengan kakek-kakek. Paling banter, ada anak-anak yang masih di bawah sepuluh tahun meramaikan masjid.

Selesai salat. Persiapan untuk pergi ke sekolah. Orang-orang memancarkan kebahagiaan. Aku sarapan dengan lontong sayur. Tidak biasa. Lengkap dengan ayam gulai, sambal terasi, dan lalapan segar. Kiranya apa. Sebab, besok adalah hari yang banyak orang tunggu. Tepat, besok adalah dimulainya bulan suci Ramadan.

Suasana Kota Tua 2030 saat bulan Ramadan tiada duanya. Malam ini adalah malam pertama tarawih, rembulan belum tampak jelas di peraduannya. Tetapi orang-orang sudah menyambut dengan gembira. Tetangga sebelah sudah berbelanja bahan makanan seminggu, untuk berbuka dan sahur. Begitu pula keadaan di rumah ku sendiri, penuh huru-hara persiapan puasa dan bulan Ramadan yang katanya penuh berkah.

 “Fai, kenapa kamu hanya bengong saja di situ!! Cepat kemari, bantu Amak!!” ucapnya lantang.

“Iya Amak, segera,” sahutku kencang. Dalam hati merutuk kenapa aku terus yang disuruh-suruh.

 “Apa yang bisa Fai bantu Amak?”

 “Nah, ini kau bawak dan antarkan ke masjid. Ini untuk acara tadarus ibu-ibu dan ini untuk yang bapak-bapak nanti malam,” sambil menyodorkan kue panggang kesukaanku.

 “Tapi Amak, tadarus masih nanti malam. Kenapa harus diantar sekarang,” tuturku heran terhadap Amak.

“Sudah kau antar saja sana. Jangan banyak membantah!” tandasnya meninggalkanku dan kue panggang yang kelihatannya lezat ini.

Ya sudahlah, hitung-hitung Latihan ngabuburit walau puasanya masih besok. Pemandangan yang sangat indah. Cahaya mega berwarna keemasan dan oren jeruk sankis menjadi saksi keindahan semesta yang Allah ciptakan tiada duanya. Makan angin ditemani pemandangan indah sangat menakjubkan. Aku sampai tepat di depan halaman masjid Al-Faruq. Ternyata orang-orang sudah ramai di dalam masjid menyiapkan makanan, membersihkan sajadah, agenda bersih-bersih rupanya.

“Assalamualaikum Cik. Saya mau mengantarkan kue dari Amak,” ucapku santai sambil memasuki masjid. Cik adalah panggilan khas untuk perempuan yang sudah menikah namun bukan saudara. Seperti tante, bude, dan sebagainya.

“Ah, ini yang ditunggu-tunggu. Terima kasih ya Fai. Nah kau pun boleh makan ini semua,” ucap Cik itu tiba-tiba.

“Wah betulkah!” sahutku girang.

“Nah tapi kau tolong bantu bersihkan masjid ya Fai.” Dia tertawa gelak dan aku hanya geleng-geleng dan mengangguk saja.

Akhirnya aku membantu pula membersihkan masjid ini. Tapi aku tidak boleh mengeluh. Karena selain pahala ganjarannya adalah berbagai macam kue yang bisa aku makan sepuasnya. Berhubung besok sudah puasa juga. Akan aku puas-puaskan makan hari ini. Aku ambil sapu dan mulai menyapu halaman, dari ujung ke ujung telah bersihku sapu. Wah, kalau bersih seperti ini memang sedap dipandang.

Aku selesai membersihkan halaman depan masjid. Sampah-sampah sudah aku kumpulkan di dalam karung dan siap untuk di buang. Sejauh mata memandang, bersih dan kinclong pokoknya. Aku berbangga diri. Upah kue itu tidak akan sia-sia. Dari kejauhan tampak orang-orang membawa senjata tajam. Suara teriakan berderu dari arah mereka. “Huh... Hah... Huh... Hah...” suara keras dengan ramai orang membawa senjata tajam. Siapa yang tidak terkejut. Bahkan beberapa warga langsung masuk ke dalam rumah mereka. Aku yang juga kaget dan takut lari terbirit-birit masuk ke dalam masjid, berusaha memberitahu pengurus masjid yang ada di dalam.

“Pak-pak! Ada orang-orang membawa senjata tajam di luar!” teriakku panik membuat orang-orang di dalam masjid panik.

“Hah! Kau serius Fai?”

“Iya pak. Mereka beramai-ramai membawa senjata tajam Pak.” Wajah pias tidak mungkin berbohong. Bapak-bapak itu tanpa pikir panjang keluar menghampiri kerumunan orang-orang yang marah.

“Ada apa ini bapak-bapak, kenapa membawa senjata tajam ke masjid?” sesampainya orang-orang dengan wajah seram itu dengan senjata tajam yang berjuntai di tangan-tangan kekar mereka. Wajah pias berganti. Terpampang nyata oleh pengurus masjid.

 “Kami ingin bertemu dengan pengurus masjid Al-Faruq!” suaranya parau melengking membuat ngeri.

“Baik. Saya adalah pengurus masjid Al-Faruq. Mari kita berdiskusi di dalam masjid saja bapak-bapak.” Pak Mahdi santai selaku ketua pengurus masjid Al-Faruq.

“Tidak! Kami akan berbicara di sini saja,” tegasnya. Entah ada masalah apa, sehingga membuat orang-orang ini sangat culas.

“Mereka itu siapa Cik?” tanya ku pada Cik Rohma yang juga sedang tegang.

“Mereka adalah kelompok yang tidak suka dengan hal-hal berbau agama. Karena sudah mendekati bulan Ramadan yang notabenenya bulannya orang Islam, mereka pasti akan mencak-mencak mengamuk. Begitu pula yang terjadi tahun lalu. Mereka meminta suara azan tidak menggunakan toa. Karena mengganggu kata mereka dan juga orang tadarusan tidak usah pakai toa mengganggu tidur mereka.”

“Memangnya mereka tidak beragama Cik?”

“Entah Cik pun tidak tahu. Mereka juga menyerang umat agama lain saat mereka merayakan hari raya masing-masing. Mereka sungguh tidak menghormati kepercayaan. Tapi menurut Cik mereka adalah orang-orang ateis.”

“Ateis?”

Lihat selengkapnya