Temani Aku Ke Masjid

Dani Yuliadi
Chapter #2

BUIH DI LAUTAN

Pikiranku terbang melayang ke awan. Fakta menamparku hingga aku lemas lunglai. Apakah aku bermimpi dan tidak bisa bangun lagi ataukah aku sudah mati dan masih banyak lagi ide aneh yang menyerang. Aku masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin aku bisa sampai ke sini, Kota Tua tahun 2099 selisih enam puluh Sembilan tahun.

“Apakah kau baik-baik saja nak?” tanya bapak itu melihatku melamun.

“Aku tidak apa-apa pak.” Ekspresi datar keluar dari wajahku membuat bapak itu makin heran.

“Apakah bapak bisa menolong saya? Saya tidak punya keluarga disini, apakah saya boleh menumpang di rumah bapak, untuk sehari saja,” kataku memelas.

“Baiklah ikut denganku.” Wajahku langsung semringah. Untung saja aku bertemu dengan orang baik.

“Omong-omong nama kamu siapa nak?”

“Nama saya Fai pak, nama bapak?”

“Seno nak,”

“Apakah rumah Pak Seno masih jauh? Bapak kerja apa? Kenapa bapak tinggal di sektor dua belas?”

“Kau sungguh anak muda yang penuh dengan rasa ingin tahu. Tapi diamlah.” Perubahan suasana hati yang tidak mengenakan, aku terdiam dan berhenti bertanya.

Kami sampai di sebuah gubuk yang tidak begitu besar, padahal pemandangan bangunan megah di depan mata benar-benar menggugah, sungguh miris.

“Oke, kita sudah sampai Fai. Kau boleh tidur di mana pun kau mau,” ucapnya santai sambil merebahkan tubuhnya di lantai lantas tidur. Dari sini aku sudah tahu bahwa Pak Seno adalah seorang pemulung yang malang. Gubuknya tidak beralas kecuali kardus sebagai tempat tidur. Tidak berdinding, atap terbuat dari terpal. Sungguh menyedihkan. Sebenarnya aku masih ingin banyak bertanya. Tetapi sangat dingin di luar dan sangat sumpek di dalam. Tapi sudahlah, aku mencoba memejamkan mata untuk tidur dan memikirkan sisanya besok pagi.

Mentari menyapaku dengan memancarkan sinarnya tepat mengenai wajahku. Aku gelagapan terbangun. Oh, sial. Masih begitu nyata. Ku pikir setelah memejamkan mata, aku akan Kembali ke alamku semula. Tetapi tidak. Aku masih di sini. Luntang lantung Bagai tidak tahu arah. Krukku… krukku… bunyi perutku berbunyi tanpa rasa malu, sampai terdengar oleh Pak Seno.

“Kau lapar rupanya?” aku tersenyum malu.

“Kalau kau mau makan, kau harus ikut denganku!” lanjutnya.

“Ikut ke mana pak?”

“Kerja, apalagi. Tidak kau lihat, aku tidak punya apa pun di sini.” Dia Bersiap-siap merapikan pakaiannya yang walau bagaimanapun tetap lusuh.

“Kerja apa pak?” tanya ku yang padahal aku sudah tahu jawabannya.

Dia diam, menyuruhku cepat dan jangan banyak bertanya. Sebentar ini kan bulan puasa, bagaimana mungkin aku akan makan. Aku ingin bertanya, tapi melihat perangai Pak Seto yang mulai memerah wajahnya Ketika aku bertanya. Maka aku urungkan.

Kami sampai di tempat pembuangan sampah. Pak Seto memberikan aku keranjang dan sebuah besi Panjang untuk mengambil sampah.

“Ambil barang-barang yang bisa dijual lagi, plastik seperti ini, botol, besi, kaca, dan bla bla bla.” Tangannya tidak berhenti menunjuk benda-benda yang tidak lain adalah sampah.

Sial sekali, aku menjadi pemulung demi bertahan hidup di negeri antah berantah ini. Tidak terasa keranjang yang tadi kosong melompong sudah terisi dengan sampah-sampah yang bisa didaur ulang.

“Ayo kita tukarkan sampah-sampah ini.” Aku mengangguk mengikuti instruksi Pak Seno.

Kami sampai di tempat penimbangan sampah dengan berjalan selama tiga puluh menit. Oh, Abi kini aku tahu lelahnya bekerja keras.

“Oke, 10 kg. ini uangnya.” Kata petugas itu, aku diberikan uang yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Uang ini seperti voucer.

“Aku belum pernah melihatmu. Apakah kau orang baru?”

“Oh, aku tidak berasal dari sini. Aku datang dari masa lalu. Aku datang dari Kota Tua tahun 2030.” Orang-orang melihatku dan terdiam. Lalu mereka tertawa dengan kencang. Aku pun semakin bingung.

“Kau sungguh lucu anak muda. Lelucon yang bagus. Memang hidup susah ini harus diisi dengan banyak candaan.” Aku tidak melawak, tapi sudahlah anggap saja aku bercanda. Ini akan jauh lebih mudah.

“Pak Seno, bagaimana aku menggunakan uang ini?” hal-hal ini di luar dari kebiasaan. Atau memang aku disini jauh lebih modern. Nanti aku pula yang dibilang primitif.

“Ini aku berikan untukmu.” Sambil menyerahkan alat berbentuk kotak, seperti gawai.

Lihat selengkapnya