Fajar menyapa dengan hawa dingin. Aku telah beranjak dari tempat tidur, mereka bahkan bangun lebih dahulu dari pada aku. Sungguh takjub, mereka melaksanakan tahajud berjamaah. Aku pun mengikuti mereka, lanjut dengan subuh berjamaah. Tentu saja, sebelum itu kami sahur Bersama, sungguh walaupun bukan dengan keluarga kandung. Tetapi rasanya sudah cukup untuk memecahkan celengan rindu.
Seseorang menepuk pundakku, “Bagaimana hari kedua disini?” tanya Anfal, aku hanya tersenyum dan menggeleng. “Aku masih merasa takjub, walaupun satu dunia ini sudah melupakan agama, moral, dan akhlak. Tetapi masih ada orang-orang seperti kalian yang ingin berdampak. Melanjutkan perjuangan nabi dan rasul.”
“Kau bisa saja. Karena memang tugas kita di dunia ini untuk memberi kebermanfaatan, sekecil apa pun, bahkan sekecil debu di jalanan sektor dua belas akan dicatat sebagai kebaikan pahala.” Canda nya sembari sedikit tertawa.
“Jadi, apa yang akan kita lakukan hari ini Anfal?” tanyaku penasaran.
“Kau akan tahu sendiri nanti. Sebelum itu, pertama kita akan…” suara Hasan memanggil Anfal.
“Hal, Anfal! Kau disini rupanya. Cepatlah! Kita harus segera pergi.” Tuturnya dengan nada tergesa-gesa.
“Baiklah Hasan.” Sahutnya tenang, “Kau akan ditemani Jiza anti. Sampai jumpa lagi.” Lanjutnya. Aku menyalaminya dan dia segera meninggalkan pungguknya menghilang dari pintu labirin.
Aku mencari Jiza, rupanya dia sedang mencuci piring, sepertinya mereka setiap hari bergantian mengerjakan tugas rumah tangga. “Jiz, Anfal bilang tadi kau akan menemaniku?”
“Oh, iya.” Sahutnya pelan, sembari menyelesaikan piring terakhir.
“Baiklah, ayo kita jalan.” Sambungnya.
“Kita mau ke mana?”
“Kau akan tahu sendiri.” Ucapan yang sama seperti perkataan Anfal.
**
Kami keluar dari tempat persembunyian dengan hati-hati, jangan sampai diketahui oleh orang lain. Begitu pula Ketika akan masuk. “Baiklah aman, ayo kita keluar.” Kami keluar dari tumpukan sampah. Lokasi ini walaupun sepi akan terlihat jika kendaraan dari langit itu melewatinya.
Saling diam, aku menatap punggungnya. Jalannya sungguh cepat, hampir selalu tertinggal. Jam tujuh pagi, orang-orang sudah ramai keluar dan mencari peruntungannya masing-masing. Tapi saat aku melihat mereka hanya memulung sampah, menukarkannya di tempat daur ulang, sektor dua belas ini amat miskin, bukan dari materi saja tapi sumber daya manusianya. Aku sempat melihat pak Seno, tapi Jiza tidak menyarankanku untuk berkontak dengannya. Dia bilang orang itu adalah penghianat bagi Kota Tua dan diasingkan. Aku memang tidak pernah bertanya padanya. Tetapi aku rasa beliau baik. Karena pernah menolongku saat pertama kali aku terdampar disini.
Aku melihat bukit yang cukup tinggi, “Kau pasti bertanya-tanya,” ucap Jiza spontan. Tangannya menunjuk ke arah bukit itu, “Kita akan ke sana.” Sambungnya. Aku tidak ingin banyak bertanya, “Ikut saja.” Pasti itu jawabnya. Hampir setengah jam mendaki bukit ini. Tanpa aku sadari bukit ini walaupun sangat aneh juga sangat familier. Warna coklat gelap, jika basah sedikit hijau berair, jika kering lengket dengan Sepatu. Bukit ini terbuat dari sampah-sampah yang tidak terolah. Tapi bagaimana bisa setinggi ini. Ah, banyak sekali pertanyaan di dalam otakku.
Kami sampai di atas bukit, sungguh pemandangan yang menjijikkan. Jika biasanya kau menaiki bukit atau gunung, kau akan merasa nyaman karena keindahan pemandangannya, kini kau akan sedih, miris sekaligus isi perutmu akan keluar. Kawasan pemukiman yang kumuh, sampah dimana-mana, orang-orang yang lusuh, tidak ada sama sekali tanaman hijau. Bahkan dari awal aku sampai disini sering kali aku menutup hidung, ya kau benar.
“Apa aku harus menjelaskan lebih Panjang?” tutur Jiza yang sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun.
“Lalu coba kau lihat ke arah sana.” Tangannya menunjukkan arah sebaliknya.
Betapa tidak tercengang. Disanalah kehidupan ditemukan. Aku melihat bangunan-bangunan yang indah, tersusun rapi, berwarna-warni, dan tidak lupa manusianya sudah menggunakan mesin-mesin canggih seperti kendaraan yang sering melewati tempat pembuangan sampah.
“Tapi kau tidak perlu terkejut. Karena dibalik keindahan itu tersimpan hal-hal mengerikan yang tidak pernah kau bayangkan. Keindahan itu hanya kedok, topeng, penuh dengan muslihat.” Dia diam sejenak, seperti seluruh isi hatinya akan dia tumpahkan dari puncak bukit ini dan meluluhlantakkan bukit ini menjadi datar,
“Di sini lah kami, mencoba menolong orang-orang miskin dan bodoh. Bahkan disini pun hal-hal mengerikan masih sulit ditangani.” Ucapnya lirih.
Pikiranku melayang, negeri ini seperti di film-film, “Jadi apa yang bisa aku lakukan Jiz?” senyumnya merekah, “Aku pun tidak tahu. Mungkin hanya sebuah kepedulian.” Tuturnya.
“Mari kita lanjutkan perjalanan ini.” Lanjutnya, dengan santai kami menuruni bukit sampah. Dibalik tumpukan gunung sampah, ada sekelompok orang yang mengais-ngais sampah, mengumpulkannya di dalam wadah, dan dijual ke tempat daur ulang. Dengan hasil yang tidak seberapa, mereka bertahan. Persis seperti yang aku lakukan saat pertama kali datang kesini.
Kami telah turun dari bukit sampah itu dan di jalan setapak kami masih disambut oleh gundukan sampah. “Ke mana kita akan pergi Jiz?” tanyaku, aku cukup Lelah naik dan turun dari bukit sampah yang sangat tinggi.
“Kita hampir sampai.” Badannya yang tegap membelakangiku, dengan kepala yang selalu menoleh ke segala arah, perasaan awas dan sigap. Sungguh mengagumkan. “Lappo Hot Daina.” Mengeja tempat yang kami datangi.
“Ini tempat apa?”
“Mari masuk.” Sungguh di sini orang yang sangat minim bicara atau aku yang terlalu banyak bertanya.
Betapa terkejutnya, siang belum bolong dan orang-orang sudah menjerit-jerit frustrasi.
“Hei kau pasti curang.” Teriak salah seorang pemain.
“Benar, kembalikan duit kami.” Sambung yang lain.
“Kalau tidak bisa main. Jangan kemari. Dasar miskin.” Sahut pihak lain.
“Oh, ayolah. Itulah adalah uang untuk makanku hari ini. Aku mohon.” Suara parau dan memelas.
“Peduli setan. Salah siapa kau bermain judi HAH!” tinju pun mulai beradu. Meja satu sudah selesai. Meja lainya seperti itu pula. Orang-orang yang sudah kalap pergi dengan tangan kosong, lengkap dengan perut lapar dan badan letih setelah seharian ataupun seminggu mencari nafkah dan habis di meja judi. Suara gelak tawa menghiasi tempat Bernama Lappo Hot Daina yang sejak sore kosong dengan uang berhamburan.
“Kalian berdua, apa yang kalian lakukan disini?” ucap karyawan tempat perjudian itu.
“Kami sedang mencari orang.” Jawab Jiza pendek.
“Disini bukan tempat penampungan. Ini adalah tempat judi. Kalau kalian tidak bertaruh. Keluar!” tanpa basa-basi dia menyuruh kami hengkang dari sana. Jiza hanya mengangguk dan memapah pundakku, menandakan untuk segera pergi dari sini.
“Ini adalah sektor sebelas. Tempat paling buruk nomor dua setelah sektor dua belas. Setiap sektor di Kota Tua memang tidak berjauhan. Seperti yang kau lihat barusan.” Dia terdiam sejenak, lalu berhenti bicara.
“Tidak hanya satu, kau lihat sekitar. Ini hanya satu dari semua tempat perjudian yang buka di siang hari. Apalagi kalau malam sudah menyapa, lebih banyak kekerasan seperti tadi yang akan kau dengar.” Lanjutnya.