Temani Aku Ke Masjid

Dani Yuliadi
Chapter #3

AWAN KELABU

Sepanjang mata memandang pembangunan besar-besaran sedang terjadi. Secara signifikan pembangunan hanya ada di sektor satu sampai sepuluh sebagai prioritas pembangunan. Sedangkan sektor sebelas dan dua belas bagaikan kulit yang di tinggalkan kacangnya. Terbuang.

Bagaimana tidak, ke sepuluh sektor itu menyumbangkan pendapatan untuk Kota Tua secara berkelanjutan. Karena memang tempat itu penuh dengan bisnis dan tempat pemerintahan. Sementara sektor dua belas dan sebelas hanya menjadi sektor tempat pembuangan sampah. Sampah-sampah menggunung, bau tidak sedap, dan rawan penyakit adalah makanan sehari-hari orang-orang di sektor dua belas dan sebelas.

Namaku Anfal. Jelas aku adalah penduduk asli Kota Tua ini. Izinkan aku menceritakan bagaimana kami bertujuh bisa berkumpul bersama-sama. Aku tinggal di sektor lima. Tapi aku memilih kabur dari sana. Sekarang aku berada di sektor dua belas. Sektor yang terkenal kotor penuh sampah. Tapi setidaknya tidak benar-benar buruk. Bersama sampah ini lebih baik dari pada sampah ‘yang di sana’.

Aku tidak pernah menyangka bisa menjadi ketua di kelompok perubahan ini. Bersama dengan ke enam teman yang bernasib sama denganku. Satu pemikiran, satu visi, dan satu misi. Kami akan mengubah Kota Tua ini menjadi yang lebih baik. Berada di jalan yang lurus. Itu adalah visi kami.

Dulunya sektor empat adalah perkampungan sederhana. Desa pertanian. Sawah membentang sejauh mata memandang. Aku suka, pemandangan yang hijau angin semilir. Pertanian di sini tidak se-primitif menggunakan sapi. Kami punya mesin yang cukup modern. Semua berubah semenjak kemunculan seorang entah dari mana. Dia terkenal sebagai ilmuan. Karyanya di pakai oleh orang-orang. Suaranya di dengar. Dia maju sebagai wakil rakyat. Hebatnya belum ada tiga bulan muncul kebijakan aneh. Di keluarkannya peraturan pelarangan adanya agama. Lalu muncul peraturan pemindahan lahan pertanian dari sektor empat ke sektor yang tidak terdaftar. Sektor empat menjadi hunian modern. Fantastis!

Ayah, ibuku, dan orang-orang yang menolak pergi ke sana. Tempat jiwa mereka berada. Kecintaan akan profesi itu menjadikan mereka bertahan. Aku yang tidak terima membuat pergerakan. Para demonstran berkumpul di depan gedung dewan. Berhari-hari. Tidak di gubris. Bahkan kekerasan tidak terhindarkan.

Aku tidak menyerah! Tapi orang-orang di sekitarku menyerah. Pasrah aku pergi mencari tempat lain. Hingga sampailah aku di sini. Mendirikan markas. Tempat pergerakan berlangsung.

**

Suasana tenang di sektor tiga menjadi hal yang di cari bagi para pemilik bisnis. Bisnis bersih adalah prosedur wajib yang harus di terapkan. Hidup nyaman dan damai. Uang berlimpah. Tapi tidak menjadikan orang-orang itu kikir. Dulunya, sebelum kebijakan pemerintah mengizinkan pelegalan eksploitasi sumber daya alam hingga manusia. Menjadikan pebisnis jujur semakin sedikit. Hukum rimba berlaku.

Ayah Hasan salah satu pebisnis yang memikirkan going concern atau keberlanjutan suatu bisnis. Hal itu di teruskan juga oleh Hasan. Sebagai ahli waris bisnisnya tentunya dia sudah di bekali dengan ilmu bisnis sedari kecil. ayahnya selalu menyuarakan hal-hal buruk tentang aturan yang di buat oleh pemerintahan. Teman-temannya selalu mengingatkan dirinya untuk tidak macam-macam dengan pemerintah. Bergerak dalam diam. Tapi prinsip kuat mengakar dalam dirinya. Pantang untuk mundur.

Suatu pagi ketika Hasan dan ayahnya sedang sarapan di rumah mewah di sektor tiga. Bunyi pintu di dobrak. Satpam bahkan tidak mampu untuk menahan pihak berwajib yang datang.

Suasana sarapan menjadi petaka,

“Ayah, tidak!” suara Hasan tercekat. Melihat ayahnya di bawa oleh pihak kepolisian.

“Saudara kami tanggap. Atas tuduhan pencemaran nama baik dan beberapa tuduhan lainnya. Ini surat penangkapan Saudara!” jelas dan padat polisi itu menjelaskan.

“Jangan bawa ayah saya Pak. Saya yakin dia tidak bersalah! Lepaskan Pak!” Hasan memohon.

Tapi tidak di reken oleh polisi itu. Bergegas mereka membawa ayah Hasan. Hasan menangis melihat kejaian itu. Dia berusaha tegar. Akibat penangkapan ayahnya, bisnisnya mengalami kebangkrutan. Entah asal muasal dari mana. Dirinya dan keluarganya terjerah utang yang sangat besar. Semua anggota keluarganya melarikan diri. Jika mereka tidak membayar utang tersebut. Mampuslah, penjara yang menanti!

“Jangan kabur!” polisi itu berteriak kencang.

Tanpa peringatan akan di tangkap, situasi berbahaya sudah bisa di tebak apa yang akan terjadi selanjutnya jika tidak menyelamatkan diri dari sekarang.

“Ibu tunggu!” ucap Hasan.

Tapi ibunya tidak mendengar dan terus saja lari. Hasan bingung harus ke mana. Apa harus bersembunyi di rumah tetangga? Sialnya tetangganya sudah mulai benci oleh ayahnya. Tidak mungkin akan menolong.

Di kala suara teriakan polisi makin mendekat, Hasan melihat sekitar. Sialnya hanya ada truk pengangkut sampah yang berhenti di trotoar jalan. Tidak ada pilihan lain. Hasan bersembunyi, lompat masuk ke dalam kubangan sampah. Baunya jangan di tanya. Selintas polisi itu tiba, truk itu sudah berjalan.

Agak jauh dari lokasi polisi. Sudah aman.

“Akhirnya berhenti. Aku harus segera turun dari truk ini. Baunya busuk sekali!” Hasan berpikir untuk mengganti transportasi lain. Minimal Hasan bisa kembali ke rumah mengambil mobil mewahnya atau motor besarnya. Sayangnya pupus.

Hantaman keras sampah, mungkin beratnya sepuluh kilo tiba mengenai kepala Hasan yang sedang bersembunyi dan hendak keluar. Tidak hanya sekali tapi berulang kali. Cukup membuat Hasan tidak sadarkan diri.

“Aduh, sakitnya kepalaku.” Hasan sadar dan susah payah bangun, badan terkubur oleh tumpukan sampah.

“Untunglah aku selamat.” Hasan keluar dari truk sampah. Tentu saja dia heran, “Sial! Aku ada di mana?!” teriaknya.

Lautan sampah menggunung. Mengalahkan tingginya bangunan modern yang sedang di bangun.

“Pak! Ini daerah mana ya?” tanya Hasan kepada sopir truk.

“Ini sektor dua belas dik.” Tuturnya lalu pergi untuk mencari sampah lain.

Hasan tertegun. Terdampar di lautan sampah.

**

Isu pemerintahan Kota Tua semakin kacau, hal ini semakin gencar tersiar di Tetafix. Alat ciptaan Mezachi, alat itu telah menjadi alat komunikasi nomor satu, dipakai oleh seluruh penduduk Kota Tua. Sektor lima di gadang-gadang akan menjadi cikal bakal perumahan untuk pasangan yang gila akan cinta.

Tidak ubahnya di sektor satu. Seorang anak polos bernama Nahal. Orang tuanya adalah politisi terkenal. Suara ayahnya terdengar lantang menolak hal itu. Tapi apalah daya. Seorang oposisi yang hanya sendiri melawan orang yang dominan, terkenal, dipandang orang banyak. Suaranya jelas kalah.

Berbagai cara sudah di lakukan untuk membanding undang-undang yang sudah di tetapkan. Gelap malam segelap gelapnya mata hati. Semua tentang kepentingan. Hal-hal mulai ganjil. Setiap ayah Nahal berbicara, mikrofon selalu di matikan. Belum ada lima menit bersuara bahkan. Berbagai teror mulai terjadi. Suatu waktu, Saat hendak pergi menggunakan mobil, keluar dari kantor. Tiba-tiba ada orang asing yang melemparnya entah dengan sampah, botol kaca, dan yang paling parah adalah air keras. Untungnya tidak kena.

Rasa syukur yang selalu membahagiakan ketika ayah Nahal pulang adalah melihat putranya sedang belajar dengan keras. Nahal adalah anak yang pintar. Ayahnya orang berpunya. Jadi apapun minat Nahal pasti akan di dukung. Nahal amat tertarik dengan teknologi. Belajar dari seorang master teknologi membuatnya mampu meretas. Pertama dia belajar meretas sistem-sistem kecil. Seperti laman bisnis, tujuannya jelas untuk belajar. Mempelajari celah mana yang bisa diretas. Dan bisa memperbaiki sistem tersebut.

Walau begitu, ayahnya tetap berpesan. Harus tetap belajar agama. Itulah yang menghantarkan kebaikan. Supaya paham ada hal-hal yang memang di larang. Baik alasan secara medis, sains, dan atau karena Allah melarang dengan alasan yang hanya Dia yang tahu. Nahal menyanggupi hal itu.

Kejadian teror demi teror semakin parah. Kali ini Nahal hampir menjadi korban serangan teror. Padahal ayahnya sudah menggunakan pengawal pribadi. Pertahanan mereka tetap dapat di tembus. Nahal tidak tidak diam saja. Dengan kemampuan teknologinya, dia mencari celah. Mencari setiap percakapan yang berisi rencana penyerangan ayahnya.

Tidak butuh waktu lama. Dalam setengah jam percakapan tersebut di temukan. Nahal terkejut bukan main, “Bunuh! Bunuh mereka. Kalau perlu satu keluarga habisi. Sudah habis rasa sabarku menghadapi orang itu di parlemen. Tidak ada yang bisa menghentikan aku!” Nahal mendengar sebagian percakapan itu bertanya-tanya, kapan akan di laksanakan. Layar tetafixnya terlihat panggilan itu berasal dari Gubernur Kota Tua. Nahal buru-buru menghampiri ayahnya.

“Ayah, gawat, gawat!” nafas Nahal tersenggal.

“Ada apa Nahal. Kenapa kamu terlihat pucat.” Ayahnya hendak pergi ke parlemen. Rapat alot akan terjadi lagi.

“Ayah jangan pergi. Keluarga kita dalam bahaya. Gubernur Kota Tua akan membunuh keluarga kita.”

“Kau jangan bercanda nak.” Ayahnya tersenyum tidak percaya dengan Nahal.

“Aku serius ayah!” wajah pucat pasi dan tatapan mata menusuk tajam. Ayah Nahal berpikir ulang.

“Coba ceritakan.” Nahal menceritakan percakapan itu, ayahnya mendengarkan dengan seksama. Bahkan Nahal masih memiliki rekaman itu.

“Ini gila!” seru Ayah Nahal.

Ayah Nahal berpikir sejenak, “Baiklah, pengawal!” seru ayahnya berbisik dengan pengawal.

“Nahal sekarang kau bawa ibumu dan pergi dari sektor ini. Kita akan menyelamatkan diri. Ayah yakin banyak pihak yang berkomplot dengan Gubernur untuk membunuh keluarga kita.”

Lihat selengkapnya