Tembung Lakar

Keefe R.D
Chapter #1

Bab 1. Sandekala

Silla memasuki ruang tamu rumahnya. Dengan langkah berat, ia melempar tas jinjingnya dan kunci mobil ke atas meja.

Beberapa kali handphone miliknya berbunyi. Ada pesan notifikasi yang masuk. Silla tak mempedulikannya untuk sesaat. Ia ingin melepas dahaganya terlebih dahulu. Ia meneguk air es yang diambilnya dari dalam kulkas.

Lalu ia mengambil handphone dari saku celana hitamnya. Hampir semua pesan yang masuk mengenai urusan kantor. Ada juga pesan iklan lewat yang tak berguna. Tak ada yang menarik perhatiannya, kecuali satu nama. Yaitu kontak ibunya yang langsung membuatnya membelalak.

“Ya ampun…” gumamnya seraya menyeka keringat dari dahi.

Amat sibuk dan lelah dirinya bekerja seharian di kantor. Hari yang seharusnya sangat penting baginya malah tak ingat. Baru tersadar saat hari sudah hampir berganti petang. Itu juga setelah membaca isi pesan dari ibunya.

 

Ambu:

Wilujeng teupang taun ya, Nak. Ambu tahu Silla sangat sibuk di kota. Jadi Ambu cukup nyelametin lewat pesan saja. Moga di umur ke-26 tahunmu ini diberi Tuhan keberkahan selalu. Moga Silla masih ingat sama Ambu dan Abah di kampung. Kita sangat sayang sama Silla.

 

Sejak tinggal di kota, Silla bekerja sebagai karyawan kantor. Kesibukannya hanya datang bekerja keras dan pulang kelelahan. Sehari-harinya bergulir begitu terus bak robot.

Menjadi budak korporat di perusahaan pemasaran harus dilakukannya demi uang. Silla harus jadi tulang punggung keluarga sejak ayahnya sakit-sakitan. Sedangkan penghasilan ibunya yang menjual umbi-umbian tak cukup untuk biaya pengobatan ayahnya.

Sudah jadi panggilan jiwa bagi Silla untuk membalas budi kedua orang tua yang merawatnya sedari kecil. Selelah apa pun kehidupannya di Kota Jakarta, pantang baginya untuk mengeluh.

Hanya sesekali ia menanyakan kabar mereka di kampung halaman. Bahkan saking sibuknya, ia lupa dengan hari ulang tahunnya sendiri.

Baru saja ia pulang dari kantor. Langsung ia berbaring di atas sofa ruang tamu. Beberapa saat ia memejamkan mata sambil mendengar deras hujan di luar rumah.

Suara petir yang menggelegar membangunkannya. Saat itulah ia teringat pesan yang dikirim ibunya.

“Ambu…” gumamnya, menatap termenung pada layar handphone. “Apa kabarnya, ya?”

Sudah lama ia tak mendengar suara beliau. Rasanya ia ingin melepas rindu dengan menanyakan kabar. Lalu ia berinisiatif menelponnya.

Nada dering tunggu berlangsung lama. Matanya kembali terasa berat lagi. Lama-lama tak sadar ia sudah memejamkan mata.

Deras hujan dan petir saling bergemuruh. Mengaburkan suara ibunya yang baru menerima panggilan teleponnya, “Halo… Silla? Halo…”

Tak kuasa menahan kantuk, Silla tertidur lelap. Bahkan sudah tertidur pun, rasa lelahnya tak benar-benar bisa sirna. Mimpi-mimpi buruk selalu datang menghantuinya.

Ia selalu dihantui kenangan buruk mengenai adiknya. Dalam kenangan mimpi itu, ia melihat adiknya bersenandung sendirian. Senandung yang selalu membuatnya merinding.

Suatu kidung yang memberikan nuansa lembut—tapi juga menyeramkan. Bagai dapat mendatangkan bangsa yang tak kasat mata. Semakin lama, semakin terasa kelam.

Sosok adiknya yang berperawakan kurus itu masih duduk seorang diri dalam kegelapan. Senandungnya terdengar pelan namun fasih.

“Mutia…” akhirnya Silla menegur, “kenapa kamu selalu nyanyiin lagu itu?”

Adiknya berhenti bersenandung. Kini ia menengok pada kakaknya yang berdiri di seberangnya. Ia hanya tersenyum hening.

“Kenapa?” tegur Silla lagi. “Jawab aku!”

Sekedar senyuman yang ditunjukkan sang adik. Tak menjawab rasa penasaran Silla sama sekali.

Sekali lagi Silla membentaknya, “Jawab!”

Namun sang adik tetap tersenyum misterius. Rasa amarah dan kesal bercampur aduk dalam hati Silla. Hanya penjelasan saja yang diinginkannya. Ia tak mau dibayang-bayangi mimpi buruk ini terus.

Lihat selengkapnya