Silla baru saja berulang tahun yang ke-26 tahun. Tidak ada perayaan khusus saat itu. Hanya makan-makan biasa bersama beberapa teman sekantornya. Kesehariannya yang tak jauh dari kehidupan budak korporat, membuat dinamika kehidupannya datar saja.
Silla tak pernah dibesarkan dengan gaya hedon oleh orang tuanya. Mengingat asal usulnya datang dari kampung, ia sudah biasa hidup sederhana sejak kecil.
“Silla, selamat ulang tahun ya!” ujar Jill usai lahap menikmati kudapan pastry.
Andin menimpali, “Makasih sudah traktir kita jajanan kue di kedai. Enak banget loh!”
“Makasih juga kadonya. Maaf ya, kita pestanya kecil-kecilan saja,” tutur Silla. Alasan yang sebenarnya karena ia tak mau boros. Ia harus menabung uang yang cukup tiap akhir bulan. Itu semua demi bisa memenuhi biaya rutin pengobatan ayahnya.
Sejak penyakit asmanya kambuh, ayahnya tak sanggup lagi bekerja sebagai petani. Lalu ibunya berinisiatif untuk berjualan singkong dan umbi-umbian dari petani lain di kampung. Namun Silla sadar, penghasilan berbulan-bulan ibunya itu tak bisa memenuhi biaya obat-obatan sang ayah. Mereka juga harus membeli kebutuhan sehari-hari.
Akhirnya Silla memantabkan diri untuk menjadi satu-satunya tulang punggung. Kini dirinya menjadi anak tunggal dari kedua orang tuanya. Dulu ia punya adik yang berbeda empat tahun dengannya. Namun mereka sudah tak lagi bersama.
Hanya bergaul dengan Jill dan Andin, dunianya tak jauh dari gosip yang ada di kantor. Seperti biasa, Jill yang lebih tua dua tahun darinya yang suka memulai obrolan panas, “Eh, sudah dengar kabarnya si Dwi? Dia kan mau married sama selingkuhannya—”
“Dia bukannya karyawan HRD?” tanya Andin, mengernyit. “Gila banget sih! Berani-beraninya tuh cewek pacaran backstreet sama mantannya atasan kita!”
Hanya Silla yang tak mempedulikan obrolan semacam itu. Ia sekedar mentraktir mereka di kedai dekat kantor sebagai tanda pertemanan saja. Ketiganya bekerja pada divisi yang sama. Mereka direkrut sebagai karyawan pemasaran untuk produk kecantikan.
“Silla, kok diem saja sih dari tadi? Yang ulang tahun malah enggak rame,” sindir Andin.
Silla menggeleng pelan. Lalu tersenyum acuh tak acuh. “Enggak apa-apa kok. Gue kan lagi nikmatin makanan sambil dengerin kalian.”
“Ah, biasanya loe juga selalu diam! Kita berdua doang yang paling berisik kalau sudah ngumpul bareng,” timpal Jill, terkekeh.
Silla memang tak peduli obrolan tak berguna seperti itu. Baginya mentraktir mereka ke sini sekedar jadi tradisi kecil-kecilan saja.
“Bisa-bisanya loe lupa sama hari ulang tahun loe sendiri kemarin,” sindir Jill. “Makanya loe telat kan ngasih tahu ke kita?”
Silla menghembuskan nafas panjang. Lalu tersenyum canggung. “Maaf ya. Gara-gara kerjaan di kantor yang lagi numpuk, gue jadi lupa.”
“Halah! Alasan saja,” sahut Andin. “Sudah setahun loe kerja di perusahaan dan kenal sama kita. Tapi baru sekarang loe ngabarin tentang hari ulang tahun loe.”
Sekali lagi, Silla hanya tersenyum hening menanggapi celotehan mereka. Terkadang ia bertanya-tanya dalam hati; apa pertemanan begini sekedar untuk memenuhi standar sosialiasi di masyarakat saja?
Tiap bertemu, mereka hanya membahas hal-hal yang dangkal. Kalau bukan soal gerutuan tugas dari kantor, sudah pasti gosip-gosip murahan. Entah yang dibahas urusan pribadi karyawan kantor atau artis-artis di televisi. Tak pernah sekali pun mereka bertanya hal yang berguna; seperti harapan dan angan. Atau sekedar menanyakan kabar. Obrolan yang terkesan lebih berbobot sepertinya bukan jadi selera mereka.
Ada kalanya Silla merasa jenuh dengan kehidupan di kota. Tapi lebih dari itu semua; ada hal yang selama ini menjadi beban pikirannya. Entah mengapa ia sering bermimpi buruk. Sosok adiknya yang terlihat kurus dan rapuh selalu muncul membayangi dalam tidurnya. Sungguh mimpi-mimpi itu mengganggu batinnya. Hingga kini, kematian adiknya di Kampung Jinem masih menyimpan tanda tanya besar.
***
14 tahun yang lalu.
Silla yang baru menginjak usia 12 tahun saat itu, mendapat kabar yang mengejutkan. Ia baru diberitahu orang tuanya; selama ini dirinya mempunyai adik kecil yang tinggal di Kampung Jinem. Yaitu suatu desa terpencil di daerah Jawa Barat.
Selama itu mereka tinggal terpisah karena Silla sering diajak merantau dari desa ke desa. Namun mengapa menitipkan anak bungsu mereka di Kampung Jinem?
Walau masih kecil, Silla merasa janggal dengan sikap abah dan ambunya. Berbagai pertanyaan pun muncul kala itu. Mengapa mereka memisahkan dirinya dengan adiknya? Mengapa dirinya baru diberitahu setelah sekian lama adiknya lahir?
Silla tak langsung mendapat jawaban. Karena mereka enggan menjelaskan padanya. Namun karena usianya yang masih belia, Silla tak begitu memusingkannya. Ia percaya saja; pasti orang tuanya punya alasan yang baik.
Ada saatnya Silla dan kedua orang tuanya kembali tinggal di Kampung Jinem. Untuk pertama kalinya Silla berkenalan dengan sang adik yang berumur 8 tahun. Sebagai seorang kakak, Silla sering menemani adiknya bermain. Mulai dari permainan petak umpet, congklak, dan apa saja yang seru. Mereka langsung akrab walau baru mengenal satu sama lain.
Lalu hal-hal aneh mulai terjadi di desa. Ada hari di mana Silla menyaksikan keanehan beberapa penduduk setempat. Ia sering mendengar orang-orang suka menembangkan kidung misterius. Mereka menembangkannya bak orang yang kerasukan sesuatu. Sambil melamun dan terkadang mengerang.
Tak jarang saat melewati rumah-rumah warga, ia sering mendengar mereka bersenandung lembut. Sampai suatu ketika, ia melihat ada ritual adat yang diadakan orang pintar setempat. Ritual tersebut diiringi senandung yang sama dengan yang ia sering dengar.
Sampai suatu hari, mereka menyaksikan kematian tragis Pak Samir. Bapak baik itu salah satu petani di desa yang terkenal sebagai pekerja keras. Entah apa yang terjadi, mengapa bapak itu tega mengakhiri hidupnya sendiri? Apalagi sampai melakukannya di depan dua perempuan kecil? Apa yang merasuki jiwa bapak itu?
Sejak saat itu, Silla dan Mutia tak pernah bermain di waktu sandekala lagi. Bahkan mereka lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah. Keduanya masih trauma menyaksikan Pak Samir menyayat lehernya sendiri dengan pisau tajam.
Sejak kematian Pak Samir, kejadian aneh berulang lagi pada beberapa orang di desa. Kabar tak sedap itu membuat Silla ketakutan. Apakah desa ini terkutuk?
“Mana mungkin terkutuk! Kamu jangan sembarangan ngomong!” tegur Ambu.
“Tapi kenapa banyak orang mati di desa akhir-akhir ini, Ambu?” tanya Silla.
Semakin Silla bertanya, semakin kesal ibunya. Malah ia dimarahi, “Kematian kan sudah jadi rahasia Tuhan. Kamu enggak usah ngurusin takdir orang!”